PENGERTIAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS)

PENGERTIAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS) 

A.  Konsep Life Skills atau kecakapan hidup dalam Pendidikan 
Mengenai pengertian pendidikan life skills atau pendidikan kecakapan hidup terdapat perbedaan pendapat, namun esensinya tetap sama. Life skills atau kecakapan hidup adalah sebagai pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan oleh seseorang agar menjadi independen dalam kehidupan. Pendapat lain mengatakan bahwa life skills  merupakan kecakapan yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat bahagia dalam kehidupan (Brollin, 1980). Malik Fajar (2002) mengatakan, life skills adalah kecakapan yang dibutuhkan untuk bekerja selain dalam bidang akademik. Sementara itu team Broad base education Depdiknas mendefenisikan life skills sebagai kecakapan yang dimiliki oleh seseorang agar berani dan mau menghadapi segala permasalahan kehidupan dengan aktif dan proaktif sehingga dapat menyelesaikannya.  Konsep Life Skills di sekolah merupakan wacana pengembangan kurikulum yang telah sejak lama menjadi perhatian para pakar kurikulum (Tyler, (1947); Taba, (1962), dalam Satori, 2003:1). 

Life skills merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan sekolah yang menekankan pada kecakapan atau keterampilan hidup untuk bekerja atau dalam kajian pengembangan kurikulum isu tersebut dibahas dalam pendekataan studies of contemporary life outside the school atau curriculum design focused on social functions activities. Life skills adalah pengetahuan dan sikap yang diperlukan seseorang untuk bisa hidup bermasyarakat. Life skills memiliki makna yang lebih luas dari employability skills dan vocational skills. Keduanya merupakan bagian dari program life skills. menjelaskan bahwa “life skills constitute a continum of knowledge and aptitudes that are necessary for a person to function effectively and to avoid interruption of employment experience”. Dengan demikian life skills dapat dijelaskan sebagai kecakapan untuk hidup ( Brollin, 1980). 

Pengertian hidup di sini, tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya secara fungsional seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber-sumber daya, bekerja dalam tim atau kelompok, terus belajar di tempat bekerja, mempergunakan teknologi, dan sebagainya (Djatmiko, 2004).

Employability skills mengacu kepada serangkaian keterampilan yang  mendukung seseorang untuk menunaikan pekerjaannya secara berhasil. Employability skills terdiri dari 3 (tiga) gugus keterampilan, yaitu:
1. Keterampilan dasar
2. Keterampilan berfikir tingkat tinggi
3. Karakter dan keterampilan afektif.

Keterampilan dasar terdiri dari, kecakapan berkomunikasi lisan (berbicara dan mendengar/menyimak), membaca (khususnya mengerti dan dapat mengikuti alur berfikir),  penguasaan dasar-dasar berhitung, dan  terampil menulis. Keterampilan berfikir tingkat tinggi mencakup :  pemecahan masalah,  startegi dan keterampilan belajar, berfikir inovatif dan kreatif, serta membuat keputusan. Karakter dan keterampilan apektif mencakup : (1) tanggung jawab; (2) sikap positif terhadap pekerjaan; (3) jujur, hati-hati, teliti, dan efisisen; (4) hubungan antar pribadi, kerjasama, dan bekerja dalam tim; (5) percaya diri dan memiliki sikap positif terhadap diri sendiri; (6) penyesuaian diri dan fleksibel; (7) penuh antusias dan motivasi; (8) disiplin dan penguasaan diri; (9) berdandan dan berpenampilan menarik; (10) jujur dan memiliki integritas, serta; (11) mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan (Anonim, 2008).

Vocational skills atau keterampilan kejuruan mengacu kepada satu keutuhan keterampilan yang diperlukan seseorang untuk bekerja. Inti dari vocational skills adalah specific occupational skills, yaitu keterampilan khusus untuk melakukan pekerjaan tertentu. Keterkaitan di antara life skills, employability skills, vocational skills dan specific occupational skills dapat digambarkan dalam model berikut: Model hubungan fungsional antara life skills, employability skills, vocational skills, specific occupational skills (Satori, 2003).

Dari model di atas dapat dipahami bahwa pengembangan program pendidikan di SLTA difokuskan pada penguasaan specific occupational skills (keterampilan pekerjaan tertentu/spesipik). Sedangkan di SLTP difokuskan pada penguasaan employability skills or general skills. Jadi, program tersebut merupakan elaborasi yang dengan sendirinya dijiwai oleh pemaknaan life skills, employability skills, dan vocational skills. Apabila dipahami dengan baik, dapat dikatakan bahwa life skills dalam konteks kepemilikan specific occupational skills ataupun general skills sesungguhnya diperlukan oleh setiap orang. Ini berarti bahwa pengembangan program life skills dalam pemaknaan tersebut di atas sepatutnya menyatu dengan program pendidikan di sekolah (Anonim, 2008). 

Dengan demikian, dalam konsep pendidikan di sekolah, semua anak yang dinyatakan telah menyelesaikan jenjang pendidikan tertentu sepatutnya telah memiliki life skills (Satori,2003:3). Dalam pendidikan sekolah di Indonesia, masalah tersebut menjadi sangat relevan jika dikaitkan dengan banyaknya kelompok lulusan baik SLTP maupun SLTA yang tidak melanjutkan sekolah.

Pengembangan program life skills pada jenjang tersebut diharapkan dapat menolong mereka untuk memiliki harga diri dan kepercayaan diri dalam mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada di lingkungan masyarakatnya.

B. Pengembangan program pendidikan di sekolah dalam konteks penerapan life skills.
Penyelenggaraan program pendidikan di sekolah yang mengarah kepada penguasaan keterampilan tertentu specific occupational skills atau peran sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, dan memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja. Oleh karenanya, cakupan life skills amat luas seperti communication skills, decision making skills, resources and time management skills, and planning skills. Pengembangan program life skills pada umumnya bersumber pada kajian bidang-bidang berikut: (1) The world of Work, (2) Practical Living Skills, (3) Personal Growth and Management, and (4) Social Skills (Anonim, 2008).

Pelaksanaan program life skills ini menuntut pemahaman profesional, sehingga dapat bermanfaat dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan sekolah. Secara spesifik, para kepala sekolah /guru sebagai tenaga kependidikan perlu mengkaji dan memahami program ini secara benar, agar dalam penyelenggaraan program belajarnya tercermin adanya pemahaman yang benar dalam konteks bakat, minat, kebutuhan para siswa, potensi kelembagaan sekolah, aspirasi orang tua, masyarakat, dan lingkungan sekolah. Nuansa pengembangan prakarsa dan inisiatif dengan tidak meminta ”petunjuk dari atas” sangat diperlukan dalam penyelenggaraan program life skills (Anonim, 2008).

Life Skills merupakan kemampuan yang diperlukan sepanjang hayat, kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan bekerja sama, menjadi warga negara yang bertanggung jawab, memiliki kecakapan untuk bekerja, memiliki karakter, dan cara-cara berfikir analitis dan logis (Komariah, 2003).

Selain itu cakupan life skills amat luas, meliputi keterampilan, berkomunikasi, keterampilan mengambil keputusan, keterampilan mengelola waktu dan sumber, serta keterampilan merencanakan. Pengembangan program life skills pada umumnya bersumber pada kajian bidang: dunia kerja (the world of work), keterampilan hidup praktis (practical living skills), pengelolaan dan pertumbuhan SDM (personal growth and management), dan keterampilan sosial (social skills) (Anonim, 2008).

Kecakapan hidup lebih luas dari keterampilan untuk bekerja, apalagi sekedar keterampilan manual. Artinya kecakapan hidup ini mencakup kemampuan individu untuk menyelesaikan berbagai persoalan kehidupannya yang bersifat praktek sosial maupun individual. Outcome pendidikan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: konsumtif dan investatif (Schultz, 1963). Aspek konsumtif berhubungan dengan kesenangan manfaat-manfaat yang diterima oleh siswa, keluarga, dan masyarakat keseluruhan. Siswa bisa saja mengalami konsumtif yang kurang baik, namun kegiatan-kegiatan seperti musik, olah raga, seni, dan kerajinan bisa membantu kesenangan siswa di sekolah. Keluarga merasa diringankan tugasnya ketika anaknya berada di sekolah, manfaat yang besar pun dirasakan oleh guru dan orang lain (Wisbrod, 1962:116- 118). Masyarakat pun memperoleh manfaat konsumtif dengan berkurangnya tingkat kejahatan. Orang-orang merasa senang melihat para ramaja belajar, bermain, dan berprilaku dan bisa saja mereka itu bersaing dalam lapangan kerja dalam tempo 3 sampai 4 tahun. Outcome pendidikan dapat membentuk: 

1. Kemampuan dasar. Keberhasilan siswa dalam mencapai kemampuan  berhitung dan membaca;
2. Kemampuan kejuruan. Dapat segera digunakan untuk bekal hidup di masyarakat;
3. Kreativitas. Merupakan ukuran untuk menilai keberhasilan sekolah dengan bertambahnya krativitas anak (manfaat investatif);
4. Sikap. Salah satu fungsi sekolah adalah membentuk sikap yang “baik” sikap in meliputi untuk diri sendiri, teman, keluarga;
5. Output lain. 

Ada beberapa prinsip yang harus dipakai dalam melaksanakan pendidikan kecakapan hidup, antara lain : (1) pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup tidak mengubah sistem pendidikan yang berlaku saat ini, (2) tidak mereduksi pendidikan menjadi hanya suatu pelatihan, (3) etika sosial-relegiusbangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dapat diintegrasikan, (4) pembelajaran memakai prinsip learning to know, learning to do, learning to be, learning to live together, dan learning to cooperate, (5) pengembangan potensi wilayah dapat direflesikan dalam penyelenggaraan pendidikan, (6) menerapkan manajemen berbasis sekolah dan masyarakat, kolaborasi semua unsure terkait yang ada dalam masyarakat, (7) paradigm learning for life da school to work dapat menjadi dasar semua kegiatan pendidikan sehingga lembaga pendidikan secara jelas memilikipertautan dengan dunia kerja dan pihak lain yang relevan, (8) penyelenggaraan pendidikan harus selalu diarahkan agar peserta didik menuju hidup yang sehat, dan berkualitas, mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang luas serta memiliki akses untuk mampu memenuhi hidupnya secara layak (Pardjono, 2002). 

Harapan mulai tertuju pada bidang pendidikan. Bidang ini diharapkan mampu membuat terobosan (breaktrough) untuk dapat memproduksi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mandiri. Sumber daya manusia yang diharapkan dapat dihasilkan dari pendidikan menengah atas, adalah sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu bertahan, walaupun dalam keadaan bagaimanapun sulitnya harus mampu mandiri untuk menolong dirinya sendiri dan orang lain untuk bisa keluar dari permasalahan yang dialami. Dunia pendidikan mulai banyak membicarakan tentang relevansi pendidikan dan dunia kerja, link and match dan dual system program (Anonim, 2008).
 BACA JUGA : PENDIDIKAN KARAKTER
PENGERTIAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS)

0 Response to "PENGERTIAN PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP (LIFE SKILLS)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close