KONSEP DASAR MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Thursday 23 June 2016
Add Comment
KONSEP DASAR MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
A. Konsep Dasar
1.
Pola Baru Manajemen Pendidikan
Perubahan dalam manajemen pendidikan disebabkan oleh lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional
yang selama ini bersifat sentralistik. Otonomi daerah telah mendorong
dilakukannya penyesuaian diri dari pola lama menuju pola baru manajemen
pendidikan masa depan yang lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis.
Kebijakan ini diterapkan pemerintah dalam kerangka meningkatkan mutu pendidikan
di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu adalah perubahan dalam manajemen
pendidikan.
Di dalam MPMBS disebutkan bahwa
terdapat beberapa dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari pola lama
menuju pola baru manajemen pendidikan, yang ditunjukkan pada Tabel 2.1
Dimensi-Dimensi Perubahan Pola
Manajemen Pendidikan
Pola Lama
|
Menuju
|
Pola Baru
|
Subordinasi
|
Otonomi
|
|
Pengambilan keputusan terpusat
|
Pengambilan keputusan
partisipatif
|
|
Ruang gerak kaku
|
Ruang gerak luwes
|
|
Pendekatan birokratik
|
Pendekatan professional
|
|
Sentralistik
|
Desentralistik
|
|
Diatur
|
Motivasi diri
|
|
Overregulasi
|
Deregulasi
|
|
Mengontrol
|
Mempengaruhi
|
|
Mengarahkan
|
Memfasilitasi
|
|
Menghindari resiko
|
Mengelola resiko
|
|
Gunakan uang semuanya
|
Gunakan uang seefisien mungkin
|
|
Individu yang cerdas
|
Teamwork yang cerdas
|
|
Informasi terpribadi
|
Informasi terbagi
|
|
Pendelegasian
|
Pemberdayaan
|
|
Organisasi hierarkis
|
Organisasi datar
|
Sumber: Departemen PendidikanNasional, 2002.
Terdapat perbedaan yang mendasar
antara pola lama dengan pola baru manajemen pendidikan. Pada pola lama
manajemen pendidikan, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program
daripada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan
mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sementara itu, pada pola baru manajemen
pendidikan sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya,
pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif dan partsisipasi masyarakat
makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan
profesionalisme lebih diutamakan daripada pendekatan birokrasi, pengelolaan
sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah lebih didorong oleh
motivasi-diri sekolah daripada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan
lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi
dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah
resiko, penggunaan uang lebih efisien karena sisa anggaran tahun ini dapat
digunakan untuk anggaran tahun depan (efficiency-based budgeting), lebih
mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua warga sekolah, lebih
mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih
efisien.
2.
MBS (manajemen berbasis sekolah) dan Peningkatan Mutu
Pendidikan
Apakah mutu itu? Apakah ada
jaminan bahwa penerapan pembaharuan dalam pola manajemen (pengelolaan) sekolah
(MBS) dengan peningkatan mutu sekolah atau pendidikan?. Pertanyaan tersebut
juga dikemukakan oleh Abu-Duhou (1999), Wohlstetter & Mohrman (1996).
Beberapa penelitian dan kajian MBS di beberapa negara menunjukkan bahwa MBS tidak
serta merta menjamin peningkatan mutu pendidikan, terutama apabila MBS
dilaksanakan secara sempit atau dilaksanakan secara parsial. Namun demikian,
bukan berarti MBS tidak ada kaitannya sama sekali dengan peningkatan mutu
pendidikan.
Untuk menjawab sejauh mana
keterkaitan antara MBS dan mutu pendidikan, perlu ada pemahaman bersama tentang
konsep mutu pendidikan, karena persepsi tentang mutu berbeda-beda antara yang
satu dengan yang lainnya. Sejauh mana konsep tentang mutu dan strategi
peningkatan mutu dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan dalam kerangka MBS.
Mutu, dalam pengertian umum dapat
diartikan sebagai derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa
barang atau jasa. Mutu dapat bersifat abstrak, namun dapat dirasakan, baik itu
berupa barang atau jasa. Oleh karena itu makna mutu akan berbeda antara orang
yang satu dengan orang lainnya, tergantung dari sudut pandang dan kebutuhannya
(Sallis, 1993). Dalam konteks pendidikan banyak pendapat tentang mutu. Namun
demikian, kajian tentang mutu dalam pendidikan dapat ditinjau dari aspek input,
proses, output dan dampak serta manfaat.
Pendidikan yang bermutu mengacu
pada berbagai input seperti tenaga pengajar, peralatan, buku, biaya pendidikan,
teknologi, dan input-input lainnya yang diperlukan dalam proses pendidikan. Ada
pula yang mengaitkan mutu pada proses (pembelajaran), dengan argumen bahwa
proses pendidikan (pembelajaran) itu yang paling menentukan kualitas. Jika mutu
ingin diraih, maka proses harus diamati dan dijadikan fokus perhatian. Melalui
proses, penyelenggara pendidikan dapat mengembangkan pendidikan, metoda, dan
teknik-teknik pembelajaran yang dianggap efektif. Orientasi mutu dari aspek
output mendasarkan pada hasil pendidikan (pembelajaran) yang ditunjukkan oleh
keunggulan akademik dan nonakademik di suatu sekolah.
Saudara, banyak sekolah yang mulai
sadar bahwa antara berbagai input, proses, dan output, perlu diperhatikan
secara seimbang. Bahkan untuk menjamin mutu, langkah-langkah sudah dimulai dari
misi, tujuan, sasaran, dan target dalam bentuk desain perencanaan yang mantap.
Para pendidik harus selalu sadar akan hasil yang akan diperoleh bagi siswa
setelah melalui proses pembelajaran tertentu, dan gambaran akan hasil yang
ingin dicapai itu pada gilirannya akan memberikan motivasi untuk mengembangkan
input dan proses yang sesuai. Bahkan saat ini mutu pendidikan tidak hanya dapat
dilihat dari prestasi yang dicapai, tetapi bagaimana prestasi tersebut dapat
dibandingkan dengan standar yang ditetapkan, seperti yang tertuang di dalam UU
No. 20 Tahun 2003 pasal 35 dan PP No. 19 Tahun 2005.
Penetapan standar untuk melihat mutu pendidikan masih banyak yang didasarkan pada keinginan yang kuat dari
pengguna (customer) dan pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan.
Termasuk pengguna (customer) dan pemangku kepentingan adalah siswa,
guru, orang tua pengguna jasa pendidikan, pengguna jasa lulusan yang menuntut
kompetensi tertentu sebagai indikator kelayakan bagi yang bersangkutan untuk
melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan, atau berbagai peran dalam kehidupan
sosial – yang merupakan output pendidikan. Sementara masalah input dan
proses dianggap sebagai masalah internal sekolah yang merupakan prerogatif
profesi tenaga kependidikan. Sebenarnya, input, proses, dan output tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Ketiganya merupakan masalah internal atau eksternal
yang akan menentukan mutu pendidikan sekolah.
Dari segi lingkup kompetensi yang
harus dicapai begitu luas. Pandangan tentang mutu pun kemudian meliputi
berbagai aspek kompetensi. Bukan hanya menyangkut ranah kognitif tetapi juga
afektif, psikomotor, dan bahkan spiritual. Mutu tidak hanya terfokus pada
pencapaian atau prestasi akademis (academic achievement), tetapi juga
bidang-bidang nonakademik, seperti prestasi seni, ketrampilan sosial,
keterampilan vokasional, serta penghayatan dan pengamalan spiritual dalam
bentuk budi pekerti luhur. Yang sering menjadi masalah adalah bagaimana menilai
secara akurat berbagai aspek kompetensi tersebut. Apalagi kalau seluruhnya
harus berdasarkan standar nasional. Sementara itu, sebagian ranah kemampuan
yang dicapai untuk sebagian relatif sukar mengukurnya.
Beberapa jenis kompetensi juga
banyak yang lebih bersifat lokal, seperti keterampilan vokasional, keterampilan
sosial, serta budi pekerti. Menurut Sallis (1993), terdapat tiga pengertian
konsep mutu. Pertama, mutu sebagai konsep yang absolut (mutlak), kedua,
mutu dalam konsep yang relatif, dan ketiga mutu menurut pelanggan.
Dalam pengertian absolut, sesuatu
disebut bermutu jika memenuhi standar yang tertinggi dan tidak dapat diungguli,
sehingga mutu dianggap sesuatu yang ideal yang tidak dapat dikompromikan,
seperti kebaikan, keindahan, kebenaran. Mutu dalam konsep ini menunjukkan
keunggulan status dan posisi dengan mutu tinggi (high quality). Jika
dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka konsep mutu absolut bersifat elit
karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang dapat memberikan pendidikan dengan
high quality kepada siswa, dan sebagian besar siswa tidak dapat
menjangkaunya.
Sungguhpun jumlah lembaga
pendidikan dalam pengertian absolut ini sangat terbatas dan sulit untuk
dijadikan rujukan karena tidak ada standar yang umum, dalam pembicaraan
sehari-hari banyak orang berbicara tentang mutu pendidikan, dengan mengacu pada
pengertian absolut ini. Kualitas dalam pengertian absolut dapat menjadi sesuatu
yang relatif dan bersifat dinamis, kalau suatu ketika muncul lembaga lain yang
dipersepsi masyarakat sebagai yang terbaik, dengan standar tertinggi.
Dalam pengertian relatif, mutu
bukanlah suatu atribut dari suatu produk atau jasa, tetapi sesuatu yang berasal
dari produk atau jasa itu sendiri. Artinya, sesuatu dikatakan bermutu apabila
suatu produk atau jasa telah memenuhi persyaratan atau kriteria, atau standar
yang ada. Produk atau jasa tersebut tidak harus terbaik, tetapi memenuhi
standar yang telah ditetapkan, termasuk memenuhi tujuan pelanggan. Jadi pada konteks
ini sangat tergantung standarnya, apakah standar tinggi, sedang, atau rendah.
Dalam konsep relatif, produk yang bermutu adalah yang sesuai dengan tujuannya.
Menurutnya, terdapat dua aspek
dari mutu relatif, yaitu mutu yang mendasarkan pada standar, dan mutu yang
memenuhi kebutuhan pelanggan. Aspek pertama menunjukkan bahwa mutu diukur dan
dinilai berdasarkan persyaratan kriteria dan spesifikasi (standar-standar) yang
telah ditetapkan lebih dulu. Pemenuhan standar ini ditunjukkan oleh produsen
secara konsisten sehingga hasilnya (produk maupun jasa) tetap sesuai
spesifikasi yang ditetapkan. Upaya menjaga kualitas secara konsisten
berdasarkan sistem yang dianut dan dimiliki oleh lembaga produsen tersebut
biasa disebut “penjaminan mutu” atau “quality assurance”. Aspek kedua,
konsep ini juga mengakomodasi keinginan konsumen atau pelanggan, sebab di dalam
penetapan standar (persyaratan, kriteria, dan spesifikasi) produk dan/atau jasa
yang dihasilkan memperhatikan syarat-syarat yang dikehendaki pelanggan. Perubahan-perubahan
standar antara lain juga didasarkan atas keinginan dan pemenuhan kebutuhan
pelanggan, bukan semata-mata kehendak produsen.
Saudara, kalau memperhatikan dua
aspek konsep relatif dari mutu tersebut, menunjukkan bahwa standar bersifat
dinamis, dan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan dan perubahan lingkungan
yang terjadi. Oleh karena itu, mutu dalam konsep relatif ini dapat terus
berkembang dan lembaga dapat terus melakukan inovasi untuk meningkatkan
spesifikasi dan standar serta menyesuaikan dengan kebutuhan pelanggannya.
Menurut pengertian pelanggan
(kalau di bidang pendidikan bisa juga disebut dengan pemakai jasa pendidikan),
mutu adalah sesuatu yang didefinisikan oleh pelanggan. Pelanggan adalah penilai
utama terhadap mutu. Pelanggan dianggap penentu akhir tentang mutu suatu produk
atau jasa, karena tanpa mereka, suatu lembaga tidak dapat hidup atau tidak akan
ada. Dengan konsep ini, ujung-ujungnya adalah kepuasan pelanggan, sehingga mutu
ditentukan sejauh mana ia mampu memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka atau
bahkan melebihi. Karena kepuasan dan keinginan adalah suatu konsep yang
abstrak, maka pengertian kualitas dalam hal ini disebut “kualitas dalam
persepsi – quality in perception”.
Dalam konteks pendidikan, produk
dari lembaga pendidikan berupa jasa. Kepuasan pelanggan (siswa, orang tua dan
masyarakat) dapat dibagi dalam dua aspek yaitu tata layanan pendidikan dan
prestasi yang dicapai siswa. Dari aspek tata layanan pendidikan, kepuasan
pelanggan dilihat dari layanan penyelenggaraan pendidikan dalam suatu lembaga
pendidikan, seperti layanan bagi siswa dalam proses pembelajaran. Sedangkan
dari aspek prestasi yang dicapai siswa, mutu dihubungkan dengan capaian yang
telah diperoleh dalam kaitannya dengan kompetensi yang diinginkan oleh pelanggan.
Dari ketiga konsep mutu tersebut,
konsep mana yang dianut dalam praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia?
Kalau dicermati dari praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, ketiga
konsep di atas digunakan secara integrasi, baik mutu dalam pengertian absolut,
relatif (standar), maupun kepuasan pelanggan.
Di Indonesia, mutu dalam
pengertian absolut dapat kita lihat dari adanya beberapa sekolah unggulan, baik
yang berasal dari sekolah yang berbasis masyarakat maupun sekolah yang
diprakarsai oleh pemerintah. Beberapa sekolah yang ”unggul”, adalah sekolah
sekolah-sekolah yang ingin tampil beda, dengan kekhasan yang tidak dimiliki
sekolah lain. Dalam dunia pendidikan di Indonesia, mutu dalam pengertian
relatif (standar) diterapkan dengan mengacu pada sejumlah standar yang telah
digunakan untuk melakukan pengecekan standar yang berkaitan dengan kinerja
satuan pendidikan dan kelayakan pengelolaan satuan pendidikan, yang disebut
dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) dan Sistem Akreditasi Sekolah. Standar
Nasional Pendidikan yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 menegaskan bahwa
dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di Indonesia terdapat sejumlah
standar, yang meliputi: standar isi, proses, komptensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan. Salah satu standar penilaian yang diterapkan oleh pemerintah
Indonesia sampai sekarang ini adalah ujian nasional. Ujian nasional sebagai
alat pengukur (penerapan standar) pencapaian standar kompetensi, juga menjadi
standar yang setiap tahunnya mengalami peningkatan agar mencapai mutu yang
lebih tinggi.
Pengertian mutu berdasarkan
kepuasan pelanggan sudah lama disadari dan diterapkan di berbagai satuan
pendidikan di Indonesia, baik negari maupun swasta. Mutu berdasarkan kepuasan
pelanggan menjadi bagian penting dari keberlangsungan hidup satuan pendidikan,
karena masyarakat akan memilih pendidikan yang terbaik bagi putra-putrinya,
sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka. Oleh karena itu, satuan pendidikan
yang tidak memperhatikan kebutuhan pelanggan akan ditinggal oleh masyarakat
sehingga banyak satuan pendidikan negeri harus digabung (merger) karena
kekurangan siswa, bahkan mungkin ditutup.
Pentingnya pelanggan dalam sistem
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia direspon positif oleh pemerintah dengan
dibentuknya Komite Sekolah, yang antara lain menyalurkan aspirasi masyarakat
pengguna jasa pendidikan. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan penerapan MBS
sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
khususnya pasal 51, ayat (1). Dalam penjelasan pasal ini, yang dimaksud
manajemen berbasis sekolah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada
satuan pendidikan yang dalam hal ini kepala sekolah dan guru dibantu oleh
komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Dari penjelasan
pasal 51, ayat (1) tersebut, wawasan mutu dari segi kepuasan konsumen sudah
menyatu dalam penerapan manajemen berbasis sekolah.
Jelasnya, wawasan mutu yang
bersifat menyeluruh, baik dari segi ranah kompetensi yang harus dicapai maupun
ketiga konsep mutu, secara terpadu semuanya dipakai dan saling mengisi. Hanya,
dalam praktek, suatu lembaga sesuai dengan kondisinya lebih memfokuskan pada
wawasan mutu tertentu. Wawasan tentang mutu yang dianut oleh suatu lembaga
pendidikan, pada gilirannya akan sangat berpengaruh terhadap praktik manajemen
pada satuan pendidikan yan bersangkutan.
Berdasarkan uraian tentang konsep
mutu di atas, maka ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh satuan pendidikan
dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan.
Pertama, setiap penyelenggara dan pengelola
pendidikan perlu memahami makna ’mutu pendidikan’. Hal ini sangat penting
karena pandangan terhadap mutu akan berbeda sesuai dengan tujuan dan keinginan.
Dengan pemahaman tentang mutu, penyelenggara dapat secara jelas mengarahkan
satuan pendidikan yang dikelolanya menuju tujuan yang diinginkan. Oleh karena
itu pada kondisi ini penerapan MBS perlu dilakukan.
Kedua, konsep mutu dalam pengertian standar dalam
penyelenggaraan pendidikan terdapat 3 aspek penting yaitu input, proses,
dan output. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Standar dari ke 3 aspek itu dapat mengacu kepada sistem
standar yang telah ada seperti Standar Pelayanan Minimal, Sistem Akreditas,
atau delapan Standar Nasional Pendidikan yang sampai saat masih terus
dikembangkan. Walaupun penerapan konsep standar ini sulit dalam dunia
pendidikan karena mengacu kepada produk ’pendidikan’ yang derajat
kekonsitenannya tidak sama dengan barang, tetapi yang lebih penting adalah
bagaimana penyelenggara pendidikan berusaha secara terus-menerus dengan
pemahaman konsep mutu itu untuk mengembangkan mutu input, proses dan output
sehingga kualitas pendidikan menjadi lebih baik.
Usaha penyelenggara pendidikan
tersebut disebut sebagai ’tata layanan’ pendidikan yang akan diterima siswa
sebagai pelanggan utama pendidikan. Ketiga aspek (input, proses dan output)
haruslah dipandang sebagai satu kesatuan dalam kerangka memberikan layanan yang
optimal kepada pelanggan (misalnya siswa), sehingga penyelenggara pendidikan
dapat mengantarkan siswa sesuai dengan kebutuhannya, sesuai dengan standar yang
dibuat baik secara lokal, regional, maupun nasional.
Ketiga, menurut Sallis (1993), istilah pelanggan
mengacu pada konsumen eksternal dan konsumen internal. Siswa merupakan konsumen
primer, karena merekalah yang memperoleh layanan langsung dari institusi
pendidikan. Orang tua dan pemerintah (di Indonesia termasuk pemerintah
propinsi, kabupaten/ kota) sebagai konsumen sekunder, karena mereka yang
membiayai individu atau institusi pedidikan yang bersangkutan, sehingga sangat
penting dan menentukan. Pengguna lulusan (dunia kerja), pemerintah, dan
masyarakat luas sebaga konsumen tersier, karena sungguh pun tidak langsung
berhubungan dengan lembaga pendidikan, tetapi pengaruhnya sangat penting.
Konsumen primer, sekunder, dan tersier tersebut merupakan konsumen eksternal
(sering juga disebut external stakeholders)
Di samping konsumen eksternal,
terdapat konsumen internal, yaitu para guru/staf pengajar dan staf sekolah pada
umumnya. Peran mereka dalam mengupayakan layanan pendidikan yang bermutu sangat
penting. Oleh karena itu, balikan dan kerjasama antara mereka sangat penting
dalam pengelolaan mutu pendidikan. Di dalam praktik sekarang, suara masyarakat
sebagai salah satu stake-holder sering diambil alih oleh DPR/DPRD,
karena mereka merasa secara resmi dianggap sebagai wakil rakyat. Dalam konteks
Indonesia saat ini, ada institusi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang
perannya lebih fokus pada akuntabilitas pelaksanaan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas
dapatlah disimpulkan bahwa konsep mutu itu bersifat dinamis dan seharusnya
selalu merespon tuntutan pelanggan pendidikan dan stakeholders lainnya.
Oleh karena itu, walaupun bukti empirik belum menunjukkan bahwa MBS dapat
menjamin peningkatan mutu pendidikan, tetapi dalam konteks mutu yang lebih luas
di atas, maka pendekatan pengelolaan MBS pada satuan pendidikan akan dapat
merealisasikan konsep mutu dimaksud.
3.
Prinsip-Prinsip MBS
Bertolak dari pembahasan pada Unit
1 tentang berbagai pengertian MBS, pada dasarnya terdapat empat prinsip MBS
yaitu otonomi sekolah, fleksibilitas, dan partisipasi untuk
mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai
kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri
(pengelolaan mandiri). Dalam hal prinsip pengelolaan mandiri dibedakan dari
pandangan yang menganggap sekolah hanya sebagai satuan organisasi pelaksana
yang hanya melaksanakan segala sesuatu berdasarkan pengarahan, petunjuk, dan
instruksi dari atas atau dari luar.
Kemandirian dalam program dan
pendanaan merupakan tolok ukur utama kemandirian sekolah. Pada gilirannya,
kemandirian yang berlangsung secara terus menerus akan menjamin kelangsungan
hidup dan perkembangan sekolah (sustainabilitas). Istilah otonomi juga sama
dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, dan
swalayan. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan
nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh
sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan
berdemokrasi/ menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber
daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi
dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah,
kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi,
serta kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Namun perlu digarisbawahi bahwa
kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak, absolut, atau semaunya. Kemandirian
yang ada tetap harus bertolak pada ketentuan, peraturan. dan perundangan yang
berlaku. Sebagai salah satu contoh peningkatan mutu pendidikan di sekolah, guru
sebagai profesional memiliki keleluasaan untuk menerapkan kiat-kiat
pembelajaran yang efektif untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan.
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai
keluwesan-keluwesan yang diberikan kepada sekolah untuk mengelola,
memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya sekolah seoptimal mungkin untuk
meningkatkan mutu sekolah. Dengan keluwesan sekolah yang lebih besar, sekolah
akan lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasannya untuk
mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya.
Dengan prinsip fleksibilitas ini,
sekolah akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan
yang dihadapi. Seperti pada prinsip otonomi di atas, prinsip fleksibilitas yang
dimaksud tetap mengacu pada kebijakan, peraturan dan perundangan yang berlaku.
Contoh fleksibilitas yang dapat dilakukan oleh seorang guru di sekolah adalah
guru yang profesional memiliki kewenangan untuk memilih, menentukan metode,
alat dan sumber belajar yang ia yakini efektif untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan ia akan mempertanggungjawabkannya. Dalam konteks penyusunan
program, masing-masing sekolah dapat menentukan prioritas-prioritas program
yang dapat dilakukan sesuai kondisi masing-masing sekolah yang disesuaikan
dengan lingkungan sekolah.
Dengan demikian, program dan
penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS) akan berbeda
antara sekolah yang satu dengan sekolah lainnya, bahkan ketika alokasi anggaran
yang dimiliki sekolah jumlahnya sama, tetapi penekanan dan pemilihan prioritas
dapat berbeda. Prinsip ini membuka kesempatan bagi kreativitas sekolah untuk
melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses pembelajaran yang aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Peningkatan partisipasi yang
dimaksud adalah penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik. Warga
sekolah (guru, siswa, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh
masyarakat, ilmuwan, usahawan, dan sebagainya) didorong untuk terlibat secara
langsung dalam penyelenggaraan pendidikan, mulai dari pengambilan keputusan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu
pendidikan. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan
(berpartisipasi) dalam penyelenggaraan pendidikan, maka yang bersangkutan akan
mempunyai “rasa memiliki” terhadap sekolah, sehingga yang bersangkutan juga
akan bertanggungjawab dan berdedikasi dalam mencapai tujuan sekolah.
Singkatnya, makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki;
makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar
rasa tanggungjawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga
sekolah dalam penyelenggaraan sekolah harus mempertimbangkan keahlian, batas
kewenangan, dan relevansinya dengan tujuan partisipasi.
Peningkatan partisipasi warga
sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan:
(a) keterbukaan (transparansi); (b) kerja sama yang kuat; (c) akuntabilitas;
dan (d) demokrasi pendidikan.
Pertama, transparansi (keterbukaan) yang dimaksud adalah
keterbukaan dalam program dan keuangan. Kerja sama yang dimaksud adalah adanya
sikap dan perbuatan lahiriah kebersamaan untuk meningkatkan mutu sekolah.
Kedua, kerjasama sekolah yang baik ditunjukkan oleh
hubungan antarwarga sekolah yang erat, hubungan sekolah dan masyarakat erat,
dan adanya kesadaran bersama bahwa output sekolah merupakan hasil
kolektif teamwork yang kuat dan cerdas. Artinya, prestasi yang diraih
ataupun mutu yang dicapai merupakan jerih payah upaya kolektif antara kepala
sekolah, seluruh staf, dan dibantu oleh orang tua dan masyarakat dalam wadah
Komite Sekolah. Oleh karena itu, kepemimpinan yang diterapkan di sekolah adalah
kepemimpinan partisipatif, kolaboratif, dan demokratis. Dengan kepemim-pinan
partisipatif, akan tumbuh komitmen bersama untuk meningkatkan mutu pendidikan
sebagai realisasi program yang dibuat/disusun dengan melibatkan warga sekolah
dan wakil orang tua dan masyarakat.
Ketiga, akuntabilitas adalah pertanggungjawaban sekolah
kepada warga sekolahnya, masyarakat, dan pemerintah melalui pelaporan dan
pertemuan yang dilakukan secara terbuka. Jika mengacu pada pasal 2 Standar
Nasional Pendidikan, akuntabilitas tidak terlepas dari delapan standar nasional
pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan,
standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Ketercapaian 8 standar nasional pendidikan di sekolah menunjukkan sejauh mana
mutu pendidikan atau kinerja suatu sekolah. Sebagai contoh, wujud akuntabilitas
mengenai pengelolaan dan penggunaan dana serta pemanfaatan sumber daya lainnya
secara efisien dan efketif dapat dituangkan ke dalam berbagai pelaporan,
dokumentasi, dan sebagainya. Sisi lain yang tidak kalah pentingnya adalah
akuntabilitas dalam ketercapaian standar pendidik dan tenaga kependidikan.
Standar ini pada prinsipnya mengacu pada akuntabilitas profesional-isme tenaga
pendidikan dan tenaga kependidikan. Demikian juga dengan akuntabilitas terhadap
komptensi lulusan, atau mutu atau kinerja yang dicapai sekolah.
Keempat, demokrasi pendidikan adalah kebebasan yang
terlembagakan melalui musyawarah dan mufakat dengan menghargai perbedaan, hak
asasi manusia, serta kewajibannya dalam meningkatkan mutu pendidikan. Jadi,
peningkatan partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan sekolah akan mampu menciptakan keterbukaan (transparansi),
kerjasama yang kuat, akuntabilitas, dan demokrasi pendidikan.
Mutu pendidikan, merupakan sasaran
yang ingin dicapai oleh MBS. Ketiga prinsip di atas yaitu otonomi,
fleksibilitas, dan partisipasi merupakan prinsip yang mendasari pencapaian mutu
pendidikan. Oleh karena itu, setiap satuan pendidikan betapapun kondisi dan
konteksnya mempunyai peluang untuk maju dan karenanya dapat ditingkatkan
mutunya. Artinya, pengembangan sekolah atau peningkatan mutu pendidikan pada
level sekolah harus berangkat dari potensi diri satuan pendidikan dari berbagai
aspeknya. Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu pada tingkat satuan
pendidikan bukanlah suatu pekerjaan mudah dan dapat dicapai dalam satu kali
program. Mutu pendidikan dicapai secara bertahap; direncanakan, dan
dilaksanakan secara sungguh-sungguh; pada setiap tahapan waktu ada target dan
tujuan spesifik yang jelas, sehingga setiap tahun jelas ada kemajuannya.
Prinsip ini juga mengandung implikasi bahwa satuan pendidikan yang sudah
bermutu pun masih terus-menerus meningkatkan mutunya, karena tuntutan
perkembangan ilmu dan teknologi serta tuntutan masyarakat senantiasa berubah,
demikian pula tuntutan stakeholders lainnya.
Kita menganut definisi mutu yang
dinamis, yang mengharuskan satuan pendidikan selalu merespon tuntutan eksternal
dan internal secara layak. Prinsip peningkatan mutu secara berkelanjutan dan
konsep mutu yang dianut membawa konsekuensi tertentu. Sekolah perlu memiliki
visi ke depan, misi yang jelas serta tujuan yang fokus, serta perencanaan
strategis dan jangka pendek pada tiap satuan pendidikan. Prinsip ini juga
menghendaki perubahan cara pandang kita terhadap sekolah/madrasah dari
pandangan sebagai lembaga/organisasi baku yang setiap komponen atau bagiannya
memiliki tugas pokok dan fungsi serta kinerja yang baku (standar), menjadi cara
pandang yang mengakui bahwa sekolah/madrasah sebagai unit organisasi apa adanya
dengan segala kekurangan dan kelebihannya, dan merupakan organisasi pebelajar
atau “learning organization”, yang terus-menerus merevitalisasi dan
memperbaiki diri untuk merespon tuntutan perubahan yang terjadi di sekitarnya.
Dengan pengertian di atas, maka
sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola
sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan
mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan
peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumber daya sekolah, dan
memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang
berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan keempat prinsip di atas, maka
sekolah akan merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang
unit-unit di atasnya (Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan
Propinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan
pelayan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Sekolah yang mandiri atau berdaya
memiliki ciri-ciri: tingkat kemandirian tinggi atau tingkat ketergantungan
rendah, bersifat adaptif dan antisipatif/proaktif sekaligus, memiliki jiwa
kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko, dan
sebagainya), bertanggungjawab terhadap kinerja sekolah, memiliki kontrol yang
kuat terhadap input manajemen dan sumber dayanya, memiliki kontrol yang kuat
terhadap kondisi kerja, komitmen yang tinggi pada dirinya, serta prestasi
menjadi acuan bagi penilaiannya. Selanjutnya, sumber daya manusia sekolah yang
berdaya ditandai dengan: pekerjaan adalah miliknya, bertanggungjawab,
pekerjaannya memiliki kontribusi, mengetahui posisinya di mana, memiliki
kontrol terhadap pekerjaannya, serta pekerjaannya merupakan bagian hidupnya.
Contoh tentang hal-hal yang dapat
memandirikan/memberdayakan warga sekolah adalah: pemberian kewenangan,
pemberian tanggungjawab, pekerjaan yang bermakna, pemecahan masalah secara teamwork, variasi tugas, hasil kerja
yang terukur, kemampuan untuk mengukur kinerja sendiri, tantangan, kepercayaan,
didengar, ada pujian, menghargai ide-ide, mengetahui bahwa dia adalah bagian
penting dari sekolah, control yang luwes, dukungan, komunikasi yang efektif,
umpan balik bagus, sumber daya yang dibutuhkan ada, dan warga sekolah
diberlakukan sebagai manusia ciptaan
Tuhan yang memiliki martabat tinggi.
Menurut Nurkholis (2003:52)
terdapat empat prinsip untuk mengelola sekolah dengan menggunakan MBS, yaitu
prinsip ekuifinalitas, prinsip desentralisasi, prinsip sistem pengelolaan
mandiri, dan prinsip inisiatif sumber daya manusia.
Menurutnya, prinisp ekuifinalitas
didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat cara yang
berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga
sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing.
Perbedaan kondisi sekolah dapat dilihat dari aspek perbedaan tingkat akademik
siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tidak dapat dijalankan dengan struktur
yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi negara. Oleh karena itu
permasalahan yang dihadapi sekolah, harus dapat dipecahkan sekolah dengan cara
yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah
yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan
antara sekolah yang satu dengan yang lain.
Prinsip equifinalitas menimbulkan
sejumlah konsekuensi. Pertama, guru sebagai salah satu faktor kunci
keberhasilan pembelajaran mempunyai kewenangan untuk memilih, menentukan
metode, alat dan sumber belajar yang ia yakini efektif untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan ia akan mempertanggungjawabkannya. Mengapa demikian? Karena
berbagai kebijakan pendidikan nasional yang ada sekarang ini menuntut
kreativitas dan fleksibilitas dalam mendesain pembelajaran, termasuk materi
pembelajaran yang disusun untuk mencapai kompetensi standar yang ditetapkan.
Contoh kebijakan pendidikan nasional adalah kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP).
Kedua, fleksibilitas dalam pengelolaan
sekolah. Setiap sekolah dapat merencanakan tujuan dan program sekolah sesuai
dengan kondisi sekolah masing-masing, baik dari aspek sumber daya, keuangan,
dan kebutuhan baik kebutuhan warga sekolah, orang tua dan masyarakat, dan yang
sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan prinsip ini setiap
sekolah akan mempunyai rencana pengembangan sekolah (RPS) dan rencana anggaran
dan pendapatan sekolah (RAPBS) yang berbeda-beda, kendati alokasi anggaran yang
diberikan atau dimiliki sama nilainya. Prinsip ini membuka kesempatan bagi
sekolah untuk kreatif dalam melakukan upaya-upaya inovatif yang diyakini dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan sekolah, terutama proses
pembelajaran yang lebih kontekstual.
Prinsip desentralisasi dilandasi
oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktivitas pengajaran tak dapat
dielakkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit
dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya. Prinsip
ekuifinalitas mendorong adanya desentralisasi kekuasaan dengan mempersilakan
sekolah memiliki ruang yang lebih luas untuk bergerak, berkembang, dan bekerja
menurut strategi-strategi unik mereka untuk menjalankan dan mengelola
sekolahnya secara efektif.
Oleh karena itu, sekolah harus
diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif
dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain tujuan prinsip
desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari
masalah.
Saudara, atas dasar itu pula, MBS
harus mampu menemukan masalah dan memecahkannya tepat waktu, serta memberi
sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas pembelajaran. Tanpa adanya
desentralisasi, kewenangan kepada sekolah itu sendiri, maka sekolah tidak akan
dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat dan efisien.
Selanjutnya, pada prinsip
pengelolaan mandiri, MBS memberikan kewenangan kepada sekolah menjadi sistem
pengelolaan secara mandiri, di bawah kebijakannya sendiri. Dengan prinisp
ekuifinalitas dan desentralisasi di atas, sekolah memiliki otonomi tertentu
untuk mengembangkan tujuan pembelajaran, strategi manajemen, distribusi sumber
daya manusia dan sumber daya lainnya, memecahkan masalah, dan mencapai tujuan
berdasarkan kondisi mereka masing-masing . Dengan prinsip pengelolaan secara
mandiri maka sekolah lebih memiliki inisiatif dan tanggung jawab.
Terakhir, pada prinsip inisiatif
manusia mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan
dinamis. Oleh karena itu, potensi suber daya manusis harus selalu digali,
ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Dengan demikian, lembaga pendidikan harus
menggunakan pendekatan pengembangan sumber daya manusia (human resources
development) yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta
memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki
potensi untuk terus dikembangkan. Prinsip tersebut menunjukkan pentingnya
faktor manusia pada efektivitas orgnanisasi. Perspektif sumber daya manusia menekankan
bahwa orang adalah sumber daya berharga di dalam organisasi sehingga butir
utama manajemen adalah mengembangkan sumber daya manusia di dalam sekolah untuk
berinisiatif. Berdasarkan perspektif ini, maka MBS bertujuan membangun
lingkungan yang sesuai untuk warga sekolah agar dapat bekerja dengan baik dan
mengembangkan potensinya.
4.
Karakteristik MBS
Menurut Nurkholis (2003:56), MBS
memiliki 8 karakteristik. Pertama, sekolah dengan MBS memiliki misi atau
cita-cita menjalankan sekolah untuk mewakili sekelompok harapan bersama,
keyakinan dan nilai-nilai sekolah, membimbing warga sekolah di dalam aktivitas
pendidikan dan memberi arah kerja. Misi ini mempunyai pengaruh yang besar
terhadap fungsi dan efektivitas sekolah, karena dengan misi ini warga sekolah dapat
mengembangkan budaya organisasi sekolah yang tepat, membangun komitmen yang
tinggi terhadap sekolah, dan mempunyai insiatif untuk memberikan tingkat
layanan pendidikan yang lebih baik.
Kedua,
aktivitas pendidikan dijalankan
berdasarkan karakteristik kebutuhan dan situasi sekolah. Hakikat aktivitas
sangat penting bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, karena
secara tidak langsung memperkenalkan perubahan manajemen sekolah dari menajemen
kontrol eksternal menjadi model berbasis sekolah. Ketiga, terjadinya
proses perubahan strategi manajemen yang menyangkut hakikat manusia, organisasi
sekolah, gaya pengambilan keputusan, gaya kepemimpinan, penggunaan kekuasaan,
dan keterampilan-keterampilan manajemen. Oleh karena itu dalam konteks
pelaksanaan MBS, perubahan strategi manajemen lebih memandang pada apek
pengembangan yang tepat dan relevan dengan kebutuhan sekolah.
Keempat,
keleluasaan dan keweangan dalam
pengelolaan sumber daya yang efektif untuk mencapai tujuan pendidikan, guna
memecahkan masalah-masalah pendidikan yang dihadapi, baik tenaga kependidikan,
keuangan dan sebagainya. Kelima, MBS
menuntut peran aktif sekolah, adiministrator sekolah, guru, orang tua, dan
pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan di sekolah. Dengan MBS sekolah dapat
mengembangkan siswa dan guru sesuai dengan karakteristik sekolah masing-masing.
Dalam konteks ini, sekolah berperan mengembangkan insiatif, memecahkan masalah,
dan mengeksplorasi semua kemungkinan untuk menfasilitasi efektivitas
pembelajaran. Demikian halnya dengan unsur-unsur lain seperti guru, orang tua,
komite sekolah, administrator sekolah, dinas pendidikan, dan sebagainya sesuai
dengan perannya masing-masing. Keenam, MBS menekankan hubungan
antarmanusia yang cenderung terbuka, bekerja sama, semangat tim, dan komitmen
Manajemen Berbasis sekolah yang menguntungkan
Ketujuh,
peran administrator sangat penting
dalam kerangka MBS, termasuk di dalamnya kualitas yang dimiliki administrator. Kedelapan,
dalam MBS, efektivitas sekolah dinilai menurut indikator multitingkat dan
multisegi. Penilaian tentang efektivitas sekolah harus mencakup proses
pembelajaran dan metode untuk membantu kemajuan sekolah. Oleh karena itu,
penilaian efektivitas sekolah hatus memperhatikan multitingkat, yaitu pada
tingkat sekolah, kelompok, dan individu, serta indikator multisegi yaitu input,
proses dan output sekolah serta perkembangan akademik siswa.
Sedangkan menurut MPMBS,
karakteristik MPMBS dikategorikan menjadi input, proses, dan output (Depdiknas,
2002). Selanjutnya, uraian singkat berikut dimulai dari output dan
diakhiri input, mengingat output memiliki tingkat kepentingan
tertinggi, sedang proses memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih
rendah dari output, dan input memiliki tingkat kepentingan dua
tingkat lebih rendah dari output.
a.
Output yang
diharapkan
Sekolah harus memiliki output yang
diharapkan. Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses
pembelajaran dan manajemen sekolah. Pada umumnya, output dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik (academic achievement) dan
output berupa prestasi non-akademik (non-academic achievement). Output
prestasi akademik misalnya, NEM, lomba karya ilmiah remaja, lomba (Bahasa
Inggris, Matematika, Fisika), cara-cara berpikir (kritis, kreatif/ divergen,
nalar, rasional, induktif, deduktif, dan ilmiah). Output non-akademik, misalnya
keingintahuan yang tinggi, harga diri, kejujuran, kerja sama yang baik, rasa
kasih sayang yang tinggi terhadap sesama, solidaritas yang tinggi, toleransi,
kedisiplinan, kerajinan, prestasi olah raga, kesenian, dan kepramukaan.
b.
Proses
Sekolah yang efektif pada umumnya
memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut:
1) Proses belajar mengajar yang efektivitasnya
tinggi`
2) Kepemimpinan sekolah yang kuat.
3) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib.
4) Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.
5) Sekolah memiliki budaya mutu.
6) Sekolah memiliki “teamwork” yang kompak,
cerdas, dan dinamis.
7) Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian).
8) Partisipasi yang tinggi dari warga sekolah
dan masyarakat.
9) Sekolah memiliki keterbukaan (transparansi)
manajemen.
10) Sekolah memiliki kemauan untuk berubah
(psikologis dan pisik).
11) Sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan
secara berkelanjutan.
12) Sekolah responsif dan antisipatif terhadap
kebutuhan.
13) Memiliki komunikasi yang baik.
14) Sekolah memiliki akuntabilitas.
15) Sekolah memiliki kemampuan menjaga
sustainabilitas atau keberlanjutan.
c. Input pendidikan.
Beberapa karakteristik MBS
daitinjau dari aspek input pendidikan adalah (a) memiliki kebijakan, tujuan,
dan sasaran mutu yang jelas; (b) sumber daya tersedia dan siap; (c) staf yang
kompeten dan berdedikasi tinggi; (d) memiliki harapan prestasi yang tinggi; (e)
fokus pada pelanggan (khususnya siswa); serta (f) input manajemen.
B. Fungsi-Fungsi Manajemen Berbasis Sekolah.
Wohlstetter dan Mohrman, dkk.
(1997) mengemukakan, ada empat hal penting yang didesentralisasikan atau
kewenangannya diberikan kepada sekolah. Pertama, kekuasaan (power)
untuk mengambil keputusan. Kedua, pengetahuan dan keterampilan, termasuk
untuk mengambil keputusan yang baik dan pengelolaan secara profesional. Ketiga,
informasi yang diperlukan oleh sekolah untuk mengambil keputusan. Semula
informasi harus dikirim ke pusat untuk pengambilan keputusan di tingkat pusat.
Sekarang sekolah mengumpulkan informasi terutama untuk dijadikan pertimbangan
dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan. Keempat, penghargaan atas
prestasi, yang harus ditangani oleh masing-masing sekolah.
Mereka juga menambahkan tiga elemen
yang dianggap prasyarat yang bersifat organisasional, yaitu: (1) panduan
instruksional (pembelajaran), seperti rumusan visi dan misi sekolah, panduan
dari distrik yang menfokuskan pada peningkatan mutu pembelajaran; (2)
kepemimpinan yang mengupayakan kekompakan (kohesif) dan fokus pada upaya
perbaikan/perubahan; (3) sumber daya yang mendukung pelaksanaan perubahan.
Secara eksplisit, MPMBS (2004)
menyatakan bahwa fungsi-fungsi yang sebagian porsinya dapat digarap oleh
sekolah dalam kerangka MPMBS ini meliputi: (1) proses belajar mengajar, (2)
perencanaan dan evaluasi program sekolah, (3) pengelolaan kurikulum, (4)
pengelolaan ketenagaan, (5) pengelolaan peralatan dan perlengkapan, (6)
pengelolaan keuangan, (7) pelayanan siswa, (8) hubungan sekolah-masyarakat, dan
(9) pengelolaan iklim sekolah. Fungsi-fungsi yang didesentralisasikan itu dapat
digambarkan sebagai berikut.
INPUT PROSES OUTPUT
Perencanaan
&Evaluasi
Kurikulum
Ketenagaan
Fasilitas
(sarana & prasarana)
Keuangan
Kesiswaan
Hubungan
Sekolah-
Masyarakat
Iklim
sekolah
|
Proses
Belajar Mengajar
|
Prestasi Siswa
|
Sumber: Departemen Pendidikan
Nasional, 2002
Berdasarkan uraian di atas,
nyatalah bahwa pemberian kewenangan pengelolaan (manajemen) pendidikan di
tingkat sekolah dapat dibagi ke dalam dua kategori. Pertama, dari aspek
fungsinya, yang mencakup: perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan (planning, organizing, actuating, controlling), dan kepemimpinan
(leading). Fungsi-fungsi ini dilaksanakan oleh sekolah, baik oleh kepala
sekolah, guru, dan atau komite sekolah. Kedua, bidang teknis yang
dikelola oleh sekolah dengan fungsi-fungsi tersebut, yaitu: (a) perencanaan dan
evaluasi, (b) pengembangan kurikulum, (c) proses pembelajaran, (d) personil
(ketenagaan), (e) keuangan, (f) fasilitas sekolah (sarana-prasarana), (g)
pelayanan siswa, (h) hubungan sekolah – masyarakat, serta (i) iklim sekolah.
C. Desentralisasi Fungsi-Fungsi
Manajemen
Memperhatikan kedua kategori di
atas, Anda perlu memperhatikan kembali dasar hukum pelaksanaan MBS di Indonesia
yaitu UU No. 20 Tahun 2003, UU No. 14 Tahun 2005, dan peraturan-peraturan
lainnya. Pertanyaannya adalah sejauh mana kewenangan sekolah dalam melaksanakan
fungsi-fungsi manajemen yang didesentralisasikan di sekolah tersebut? Simaklah
sajian berikut tentang fungsi-fungsi manajemen tersebut.
1.
Perencanaan dan
evaluasi
Sekolah diberi kewenangan untuk
melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhannya. Kebutuhan yang dimaksud,
misalnya, kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Oleh karena itu, sekolah
harus melakukan analisis kebutuhan mutu, yang hasilnya akan digunakan sebagai
dasar dalam membuat rencana peningkatan mutu sekolah. Sekolah diberi wewenang
untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal.
Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses
pelaksanaan dan hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam
ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar
benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
2.
Pengembangan
Kurikulum
Pada saat ini, pengembangan
kurikulum sepenuhnya diserahkan kepada masing-masing satuan pendidikan, dengan
mengacu pada standar kompetensi lulusan, standar isi, kerangka dan struktur
kurikulum, serta panduan penyusunan kurikulum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah pusat. Kebijakan tersebut memungkinkan setiap satuan pendidikan
untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Sekolah
berkewenangn mengembangkan (memperdalam, memperkaya, memodifikasi) kurikulum,
namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang berlaku secara nasional.
Sekolah dibolehkan memperdalam kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh
dipertajam dengan aplikasi yang bervariasi. Sekolah juga dibolehkan memperkaya
apa yang diajarkan, artinya, apa yang diajarkan boleh diperluas dari yang
harus, yang seharusnya, dan yang dapat diajarkan. Demikian juga, sekolah
dibolehkan memodifikasi kurikulum, artinya, apa yang diajarkan boleh
dikembangkan agar lebih kontekstual dan selaras dengan karakteristik peserta
didik. Selain itu, sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum
muatan lokal.
Undang-undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas menyatakan hal-hal yang terkait dengan kurikulum. Pasal 35
ayat (1) menjelaskan standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana
dan berkala, dan ayat (2) menyatakan bahwa standar nasional pendidikan
digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Demikian juga pasal 36 ayat (1), (2),
dan (3) menyatakan:
1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis
pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversivikasi sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan
memperhatikan: (a) peningkatan iman dan takwa; (b) peningkatan akhlak mulia;
(c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; (d) keragaman
potensi daerah dan lingkungan; (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
(f) tuntutan dunia kerja (g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni;(h) agama; (i) dinamika perkembangan global; dan (j) persatuan nasional
dan nilai-nilai kebangsaan.
Sementara itu, pasal 38 ayat (1) dan (2)
mempertegas pihak yang bertanggung jawab dalam penetapan dan pengembangan
kurikulum.
1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.
2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah
dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan
pendidikan dan komite sekolah/ madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas
pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar
dan propinsi untuk pendidikan menengah.
Menurut Peraturan Mendiknas No. 22
Tahun 2006, tentang standar isi Bab II (2) dinyatakan bahwa kurikulum tingkat
satuan pendidikan (KTSP) jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan
oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan
standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP.
Dari pasal-pasal tentang kurikulum
tersebut, dapatlah ditegaskan sebagai berikut. Pertama, kerangka dasar
dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah disusun dan ditetapkan
oleh Pemerintah untuk menjaga standar nasional dalam hal isi, proses, dan
kompetensi lulusan. Dalam hubungan ini, kurikulum baru yang sedang
diperkenalkan memuat standar kompetensi, standar isi, dan standar proses. Oleh
karena menekankan pada berbagai kompetensi yang harus dicapai oleh peserta
didik, kurikulum baru ini dikenal dengan nama Kurikulum Tinggat Satuan
Pendidikan (KTSP).
Kedua, dalam kerangka MBS, kewenangan
yang diberikan kepada satuan pendidikan bersama komite untuk mengembangkan
kurikulum dalam bentuk pengembangan dan penjabaran dari apa yang sudah
ditetapkan secara nasiona, di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan
atau kantor departemen agama sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah.
Pengembangan kurikulum tersebut dapat dilakukan baik secara sendiri-sendiri
oleh satuan pendidikan atau dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa sekolah
bersama komitenya (bisa dalam satu gugus atau tingkat kecamatan bahkan bisa
dalam tingkat kabupaten), dengan koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau
kantor departemen agama kabupaten/kota. Ketiga, guru mempunyai
kewenangan untuk mengembangkan proses pembelajaran, sesuai metode yang dia
kuasai dan dia pilih, serta alat bantu dan sumber belajar yang dia anggap
efektif untuk mendukung proses pembelajaran.
Jadi, kewenangan sekolah dalam hal
pengembangan kurikulum adalah pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan
yang mendasarkan pada standar isi, standar kompetensi dan standar kelulusan,
serta memilih, menjabarkan dan mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan
standar kompetensi yang diinginkan, termasuk di dalamnya adalah pemilihan
metode pembelajaran, program pengayaan, program perbaikan (remedial), dan
pelaksanaan proses pembelajarannya, dengan dukungan input lainnya, serta evaluasi
oleh sekolah.
3. Pengelolaan
Proses Pembelajaran
Proses belajar mengajar merupakan
kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan
teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan
karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan
kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum,
strategi/metode/teknik pembelajaran dan pengajaran yang berpusat pada siswa (student
centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa. Yang dimaksud
dengan pembelajaran berpusat pada siswa adalah pembelajaran yang menekankan
pada keaktifan belajar siswa, bukan pada keaktifan mengajar guru. Oleh karena
itu, cara-cara belajar siswa aktif seperti misalnya active learning, cooperative
learning, dan quantum learning perlu diterapkan.
Anda semua pasti mengetahui, bahwa
proses belajar mengajar merupakan kegiatan utama sekolah. Sekolah diberi
kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan
pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran,
karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang
tersedia di sekolah. Secara umum, stragtegi/metode/teknik pembelajaran yang
berpusat pada siswa (student-centered) lebih mampu memberda-yakan siswa
karena membuat mereka menjadi lebih aktif dalam proses pembelajaran.
(Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, 2005). Oleh karena itu, cara-cara
belajar siswa aktif seperti misalnya active learning, cooperative learning,
dan quantum learning perlu diterapkan.
Desentralisasi pengelolaan melalui
MBS memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melaksanakan proses pembelajaran
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Di samping itu dengan KTSP,
sekolah atau guru dapat mengembangkan secara mandiri materi ajar dan kegiatan
belajar yang diperlukan untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar
yang telah ditetapkan, serta meningkatkan mutu sekolah sesuai dengan
karakteristik sekolah masing-masing.
Untuk dapat mewujudkan hal itu,
sekolah harus memiliki persiapan yang matang dengan memberdayakan seluruh
potensi dan unsur sekolah seperti guru dan masyarakat yang diwakili orang tua
siswa, untuk menyusun dan merancang proses pembelajaran. Melalui proses
pembelajaran yang disusun berdasarkan kebutuhan sekolah, kurikulum tidak
terbebani dengan materi lain yang sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan
bagi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta didik. Dengan demikian,
pembelajaran pun dapat lebih efektif untuk dapat menghasilkan prestasi belajar
yang lebih tinggi.
Proses pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan merupakan bentuk pembelajaran yang menghadapkan siswa pada
suatu atau sejumlah sumber belajar secara individual atau kelompok. Proses
pembelajaran yang efektif adalah suatu kondisi yang memberikan kesempatan
kepada siswa untuk berfikir dan berbeda pendapat dengan guru, sehingga terjadi
dialog interaktif (Fattah, 2004). Dengan pembelajaran yang seperti ini, yang
menjadi sumber belajar tidak hanya guru, tetapi juga siswa.
Slamet PH (2001) menyatakan bahwa
proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar yang dilakukan melalui
interaksi perilaku pengajar dan perilaku pelajar, baik di dalam maupun di luar
ruang kelas. Karena proses belajar mengajar merupakan pemberdayaan pelajar,
maka penekanannya bukan sekedar penguasaan pengetahuan tentang apa yang
diajarkan (logos), tetapi merupakan internalisasi tentang apa yang diajarkan
sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati serta
dipraktikkan oleh pelajar (etos).
Secara ringkas, proses belajar
mengajar (sebagai sistem) dapat dilukiskan seperti pada gambar berikut:
Tujuan
|
Materi
|
Siswa
|
Media
|
Lingkungan
|
Hasil Belajar
·
Peningkatan
daya pikir.
·
Peningkatan
daya kalbu.
·
Peningkatan
Daya Fisik
|
PROSES
|
OUTPUT
|
INPUT
|
PBM
(Pemberdayaan
Siswa)
·
Perilaku
Siswa.
·
Perilaku
Guru
|
Waktu
|
Metode
|
Pengajar
|
Alat Evaluasi
|
Sumber: Slamet PH (Direktorat Pendidikan
Menengah Umum, 2000)
Selain itu, proses pembelajaran
semestinya lebih mementingkan proses pencarian jawaban daripada sekedar
memiliki jawaban. Karena itu, proses pembelajaran yang lebih mementingkan
jawaban baku yang dianggap benar oleh pengajar adalah kurang efektif. Perlu
sarudara ketahui, bahwa proses pembelajaran yang efektif semestinya menumbuhkan
daya kreasi, daya nalar, rasa keingintahuan, dan eksperimentasi untuk menemukan
kemungkinan-kemungkinan baru (meskipun hasilnya keliru), memberikan keterbukaan
terhadap kemungkinan-kemungkinan baru, menumbuhkan demokrasi, dan memberikan
toleransi pada kekeliruan-kekeliruan akibat kreativitas berfikir.
4.
Pengelolaan
ketenagaan
Saudara, kita perhatikan
fungsi-fungsi ketenagaan (personnel function) berkaitan dengan:
perencanaan kebutuhan, seleksi, pengangkatan, penempatan, pengembangan, dan
pemberhentian, sampai evaluasi kinerja tenaga kerja sekolah (guru, tenaga
administrasi, laboran dan sebagainya). Bagi sekolah negeri, fungsi mana yang
menjadi kewenangan sekolah? Selama ini peran sekolah hanya sebatas mengusulkan
kebutuhan tenaga (guru dan non guru), memproses/mengusulkan angka kredit, dan
mengusulkan pensiun.
Dalam rangka MBS peran kewenangan
atau peran sekolah masih akan sangat terbatas pada mengelola ketenagaan yang
sudah ada di sekolah, dan sebatas mengelola pemanfaatan tenaga yang sudah
diangkat oleh pemerintah/pemerintah daerah, kecuali untuk tenaga honorer yang
insentifnya sebagian besar dapat dibayarkan melalui dana BOS dan/atau melalui
sumbangan orang tua (Komite Sekolah). Pasal 41 ayat (1), (2), dan (3) UU
Sisdiknas 2003 menyiratkan keterbatasan kewenangan sekolah:
1)
Pendidik dan tenaga kependidikan dapat
bekerja secara lintas daerah.
2)
Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran
pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya
berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.
3)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang
diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.
Pasal 44 ayat (1), (2), dan (3) di
bawah ini makin memperjelas bahwa pengelolaan ketenagaan untuk satuan
pendidikan, sebagian besar tidak pada sekolah/ madrasah.
1)
Pemerintah dan pemerintah Daerah wajib
membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
2)
Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat
berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan yang diselenggarakannya.
3)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan
formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Penjelasan yang lebih terperinci
tentang manajemen ketenagaan ini dituangkan juga di dalam UU No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Pada pasal-pasal di dalam UU tersebut secara jelas
diungkapkan bagaimana profesionalisme guru untuk mendukung proses pembelajaran
di sekolah, serta kewenangan pengelolaan ketenagaan.
Terbatasnya kewenangan sekolah,
khususnya sekolah negeri dalam pengelolaan bidang ketenagaan tentu tidak
membuat MBS kehilangan makna dalam hal ini. Dalam mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya manusia sebagai bagian dari sumber daya pendidikan kunci yang
sangat penting, satuan pendidikan (dengan kepemimpinan yang kuat) harus dapat
memotivasi, menggalang kerja sama, menyamakan visi, menyadari misi, serta
mengembangkan staf pada level sekolah/madrasah yang belum ditangani oleh
birokrasi di atasnya. Satuan pendidikan juga melakukan penggalian sumber daya
manusia dari luar (out sourcing) melalui kerja sama dengan berbagai
pihak, karena keterbatasan tenaga, belum tercukupinya tenaga yang diperlukan,
atau memang tenaga tersebut tidak mungkin diangkat oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah karena sifat keahliannya yang khas, yang tidak diperlukan
secara terus-menerus sepanjang tahun ajaran. Sebagai contoh, misalnya
pengangkatan guru honorer atau kontrak di sekolah seperti guru komputer, bahasa
Inggris, dan sebagainya.
5.
Pengelolaan
Fasilitas Sekolah
Pengelolaan fasilitas sekolah
(sarana dan prasarana) sudah seharusnya dilakukan oleh sekolah, mulai dari
pengadaan, pemeliharaan dan perbaikan, hingga sampai pengembangan. Hal ini
didasari oleh kenyataan bahwa sekolahlah yang paling mengetahui kebutuhan
fasilitas, baik kecukupan, kesesuaian, maupun kemutakhirannya, terutama
fasilitas yang sangat erat kaitannya secara langsung dengan proses belajar
mengajar.
Kebijakan pemerintah tentang
pengelolaan sarana dan prasarana sekolah tertuang di dalam UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sisdiknas pasal 45 ayat (1), yaitu “Setiap satuan pendidikan formal dan
nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan
sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik”. Selanjutnya, pada
pasal 35, ayat (1) dinyatakan pula:
“Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi,
proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan
secara berencana dan berkala”.
Lebih spesifik Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada Bab VII
pasal (42) sampai dengan pasal (47) menegaskan bahwa di bidang sarana dan
prasarana pun kewenangan sekolah ada batasan-batasannya. Namun batasan-batasan
yang dimaksudakan di dalam standar nasional pendidikan tersebut didasarkan pada
kriteria minimal yang harus dimiliki oleh sekolah dalam aspek sarana dan
prasarana. Sehingga penjaminan terselenggaranya pendidikan yang bermutu dapat
tercapai.
6. Pengelolaan Keuangan
Bidang keuangan bagi pendanaan
pendidikan di sekolah merupakan salah satu elemen MBS yang sangat penting. Dari
kajian pengalaman di negara-negara lain kita temukan istilah “school-based
budget”, “resource allocation”, dan “school-funding formula”,
yang semua merujuk keuangan sekolah sebagai elemen penting di dalam pelaksanaan
MBS.
Berkaitan dengan pendanaan
pendidikan ini, UUD 1945 hasil amandemen ke-4 tahun 2002 pasal 31 ayat (1),
(2), dan (4) menyatakan sebagai berikut:
1)
Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan.
2)
Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan Pemerintah wajib membiayainya.
3)
Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Di samping itu, UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 pasal 49 ayat (1) juga menyatakan bahwa:
Dana pendidikan selain gaji pendidik
dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 % dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 %
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Nampaknya ketentuan tersebut
melegakan berbagai pihak terutama kalangan pendidikan dan orang tua yang bakal
lebih ringan bebannya dalam mngeluarkan biaya pendidikan yang saat ini
dirasakan makin menghimpit. Tetapi jangan terlalu girang lebih dahulu, sebab
penjelasan pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas Tahun 2003 tersebut berbunyi:
“Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap”. Penjelasan
ini dapat menjadi apa yang biasa disebut “pasal karet”, yang pelaksanaannya
sangat tergantung dari keinginan yang baik (goodwill) berbagai pihak,
khususnya pemerintah dan DPR.
Sementara pasal 49 ayat (3) UU
Sisdiknas 2003 menyatakan dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah
untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal dan ayat ini sesuai dengan semangat
elemen pokok MBS yang menghendaki adanya alokasi dana pendidikan untuk sekolah
dalam bentuk “block grant” (hibah).
Oleh karena ada tuntutan prinsip
pendanaan yang adil, kecukupan, berkelanjutan, dan prinsip pengelolaan yang juga
adil, efisien, transparan, dan akuntabel (seperti diatur dalam pasal 47 ayat
(1) dan pasal 48 ayat (1) UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003), perlu ada formula
pendanaan pendidikan untuk tiap sekolah (school funding formula). Tentu
saja hal ini masih perlu waktu, tetapi harus segera dirumuskan dan ditetapkan
kalau MBS akan diterapkan secara sungguh-sungguh. Prinsip ini juga berlaku
untuk semua satuan pendidikan, termasuk pendanaan untuk satuan pendidikan
swasta baik sekolah maupun madrasah.
Jelasnya, secara yuridis (menurut
UU Sisdiknas tahun 2003) kewenangan sekolah di dalam bidang pengelolaan
keuangan sudah sesuai dengan konsep MBS, terutama untuk sekolah negeri. Dari
segi pelaksanaan, hibah yang diberikan selama ini sudah mulai terlihat polanya
yaitu melalui BOS, dan dana-dana lain yang disediakan oleh propinsi maupun
pemerintah pusat.
Salah satu jabaran kebijakan
pemerintah berkenaan dengan dana pendidikan direalisasikan dalam bentuk Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang besarannya tergantung dari jumlah siswa.
Walaupun kebijakan BOS ini menguntungkan bagi sekolah dalam mengelola
pendidikan di tingkat satuan pendidikan, namun bagi sekolah yang jumlah
siswanya sedikit, kebijakan ini dirasakan masih kurang adil, karena kebutuhan
biaya operasional sekolah tidak mencukupi. Namun demikian dengan pendanaan
pendidikan seperti BOS ini, dalam kerangka MBS, penyelenggara pendidikan
diberikan kewenangan untuk mengelola dana tersebut sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku, yang muaranya adalah peningkatan mutu pendidikan.
Di samping itu, dengan MBS penyelenggara pendidikan dapat melakukan inovasi
pengalokasian sumber dana pendidikan, yang tidak hanya tergantung pada hibah
dari pemerintah, tetapi bersama-sama dengan komite sekolah dapat menghimpun
pendanaan dari masyarakat, dunia usaha, dan dunia industri (DUDI).
7. Pelayanan
Siswa
Pelayanan siswa meliputi
penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/ pembimbingan, penempatan untuk
melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja, hingga sampai pada
pengurusan alumni. Hal itu sebenarnya dari dahulu sudah didesentralisasikan.
Karena itu, yang diperlukan saat ini adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitasnya. Seperti yang dikemukakan oleh Sutisna (1991:46), tugas kepala
sekolah dalam manajemen siswa adalah menyeleksi siswa baru, menyelenggarakan
pembelajaran, mengontrol kehadiran murid, melakukan uji kompetensi akademik/
kejuruan, melaksanakan bimbingan karier serta penelusuran lulusan. Uji
kompetensi yang dilakukan bersama oleh sekolah dan asosiasi profesi memudahkan
penyaluran dan pemasaran lulusan sekolah ke dunia kerja, ataupun menciptakan
lapangan kerja sendiri untuk berwiraswasta. Kepala sekolah harus menyadari
bahwa kepuasan peserta didik dan orang tuanya serta masyarakat, merupakan
indikator keberhasilan sekolah (Sallis, 1993). Mereka adalah external
customers. Keberhasilan ini adalah konsep dasar yang harus menjadi acuan
kepala sekolah dalam mengukur keberhasilan sekolahnya.
8.
Hubungan Sekolah
dan Masyarakat
Esensi hubungan sekolah-masyarakat
adalah untuk meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan
dari masyarakat, terutama dukungan moral dan finansial. Dalam arti yang
sebenarnya, hubungan sekolah-masyarakat dari dahulu sudah didesentralisasikan.
Oleh karena itu, sekali lagi, yang dibutuhkan adalah peningkatan intensitas dan
ekstensitas hubungan sekolah-masyarakat.
Kinkred Leslie (1957) mengemukakan
pengertian hubungan sekolah dan masyarakat sebagai berikut: “School public
relation is a process of communication between the school and community for
purpose of increasing citizens understanding of educational needs and practices
and encouraging intelligent citizens interest and cooperation in the work of
improving the school.”
Adanya hubungan sekolah dan
masyarakat sesungguhnya telah membuat sekolah sebagai sebuah institusi dapat
mengetahui sumber-sumber yang ada di masyarakat untuk kemudian didayagunakan
bagi kepentingan dan kemajuan pendidikan anak di sekolah. Di pihak lain, masyarakat
dapat mengambil manfaat dengan turut mengenyam dan menyerap kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh sekolah. Mereka dapat mengakses
perpustakaan dan memanfaatkan segala bentuk informasi yang ada di dalamnya.
Sebenarnya, masyarakat dapat mengerti dan memahami tujuan-tujuan pendidikan,
termasuk di dalamnya kebutuhan-kebutuhan pendidikan, pelaksanaan pendidikan dan
kemajuan pendidikan yang berlangsung di sekolah tersebut. Berangkat dari
pemahaman tersebut, masyarakat dapat memberikan bantuan kepada sekolah demi
kemajuan pendidikan anak-anak mereka.
Elsbree (1965) mengemukakan bahwa
hubungan sekolah dengan masyarakat memiliki tujuan sebagai berikut:
a. Meningkatkan kualitas belajar dan pertumbuhan
anak.
b. Meningkatkan tujuan masyarakat dan
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
c. Mengembangkan antusiasme dalam membantu
kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat di sekitar sekolah.
Perlu Anda ketahui, bahwa ketiga
tujuan yang ditawarkan Elsbree di atas menggambarkan adanya dua arus komunikasi
yang saling timbal balik (a-two way-traffic) antara sekolah dan
masyarakat. Hubungan keduanya akan berjalan dengan baik apabila terjadi
kesepakatan tentang arah kebijakan (policy), perencanaan (planning),
program, dan strategi pelaksanaan pendidikan di sekolah. Namun begitu, karena
di masyarakat sendiri terdapat berbagai perbedaan pemikiran dan kepentingan,
maka kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah harus cerdas dalam
menyusun program yang dapat menampung berbagai arus aspirasi yang berkembang di
masyarakat. Salah satu jalan yang dapat ditempuhnya dengan cara membentuk
“opini publik”, dan menjadikan-nya sebagai titik tolak pelaksaaan pendidikan di
sekolah tersebut. Opini publik adalah suatu pendapat dari hasil penyatuan
berbagai variasi pendapat di dalam lingkungan masyarakat, sehingga akan
terbentuk suatu pengertian yang utuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, ada
beberapa langkah yang dapat ditempuh, diantaranya sebagai berikut.
a. Berupaya secara terus menerus
untuk meningkatkan pengertian di masyarakat akan policy pendidikan di sekolah.
b. Menanamkan pengertian di
masyarakat tentang kebutuhan-kebutuhan sekolah.
c. Menggali minat dan kebutuhan
masyarakat akan upaya peningkatan diri mereka masing-masing.
d. Menunjukkan kepada masyarakat tentang
kegiatan-kegaiatan sekolah.
e. Mendorong masyarat dengan cara
yang bijak untuk memahami dan membantu kegiatan sekolah.
Singkatnya, lingkungan dan
masyarakat sekitar sekolah adalah ekosistem pendidikan yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Esensi hubungan sekolah-masyarakat adalah untuk
meningkatkan keterlibatan, kepedulian, kepemilikan dan dukungan moral-finansial
dari masyarakat. Betapapun hubungan tersebut sudah terdesentralisasikan sejak
dahulu, namun peningkatan intensitas dan ekstensitas hubungan
sekolah-masyarakat perlu mendapat perhatian yang lebih dari sebelumnya. Karena
sesungguhnya, tujuan pendidikan kecakapan hidup akan berorientasi pada
kebutuhan lingkungan Demikian juga halnya dengan pembelajaran berbasis
kompetensi haruslah berwawasan lingkungan (contextual learning).
Mayarakat lingkungan juga merupakan sumber daya pendidikan, baik dalam arti
sumber dana, sumber tenaga kependidikan, laboratorium pendidikan, maupun
sebagai penasehat pendidikan (advisory council). Di sisi lain, masyarakat
sebagai pelanggan luar perlu diupayakan agar mereka merasa puas dengan proses
dan hasil pendidikan yang dihasilkan oleh sekolah.
9.
Iklim Sekolah
Iklim sekolah (fisik dan nonfisik)
yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar
mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan
harapan yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan
kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities)
adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar
siswa. Iklim sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah, sehingga yang
diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstentif (Depdiknas,
2002
0 Response to "KONSEP DASAR MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH"
Post a Comment