Model – Model Kurikulum



Model – Model Kurikulum

Pengembangan kurikulum berkenaan dengan model kurikulum yang  dikembangkannya. Minimal ada empat model kurikulum yang banyak diacu dalam pengembangan kurikulum, yaitu model kurikulum subjek Akademis, Humanistik, Rekonstruksi Sosial dan Kompetensi (Sukmadinata, 2009).

Masing-masing model sejalan dengan teori yang mendasarinya, bertolak dari asumsinya atau keyakinan dasar yang  berbeda sehingga menimbulkan pandangan yang berbeda pula tentang kedudukan dan peranan pendidik, peserta didik, isi maupun proses pendidikan. Keempat model kurikulum tersebut memiliki acuan teori atau konsep pendidikan yang berbeda.

Kurikulum subjek akademis mengacu pada pendidikan klasik, yaitu perenialisme dan esensialisme; kurikulum humanistic mengacu pada pendidikan pribadi; kurikulum rekonstruksi social mengacu pada pendidikan interaksional dan kurikulum kompetensi mengacu pada teknologi pendidikan.

A. Kurikulum Subjek Akademis
Kurikulum subjek akademis merupakan salah satu model kurikulum yang paling tua. Kurikulum ini menekankan isi atau materi pelajaran yang bersumber dari disiplin ilmu.
Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik, yang berorientasi pada masa lau, bahwa semua ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai budaya telah ditemukan oleh para ahli di masa lalu.

Fungsi pendidikan adalah memelihara dan mewariskanya kepada generasi baru. Kurikulum ini sangat mengutamakan isi pendidikan. Ukuran keberhasilan peserta didik dalam belajar adalah yang menguasai seluruh atau sebagian besar dari isi pendidikan yang diajarkan guru.
Para pengembang kurikulum tinggal memilih bahan-bahan materi ilmu yang telah dikembangkan oleh para ahli disiplin ilmu, kemudian mengorganisasinya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan peserta didik.

Guru sebagai penyampai bahan ajar harus menguasai semua pengetahuan yang menjadi isi kurikulum.
Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek akademis. Pola-pola organisasi yang terpenting menurut Sukmadinata (2009) di antaranya sebagai berikut.

a. Correlated curriculum
Pola organisasi materi atau konsep yang dipelajari dalam suatu peajaran dikorelasikan denga pelajaran lainnya.

b. Unfied atau concentrated curriculum
pola organisasi bahan peajaran tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari berbagai pelajaran disiplin ilmu.

c. Integrated curriculum
Kalau dalam unified masih tampak warna disiplin ilmunya, maka dalam pola yang integrated warna disiplin ilmu tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar diintegrasikan dalam suatu persoalan, kegiatan atau segi kehidupan tertentu.

d. Problem solving curriculum
Pola organisasi yang berisi topik pemecahan masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan keterampian yang diperoleh dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu

B. Kurikulum humanistic
Model kurikulum humanistic menekankan pengembangan kepribadian peserta didik secara utuh dan seimbang, antara perkembangan segi intelektual (kognitif), afektif, dan psikomotor. Kurikulum humanistic menekankan pengembangan potensi dan kemampuan dengan memperhatikan minat dan kebutuhan peserta didik.

Pembelajaran segi-segi social, moral, dan afektif mendapat perhatian utama dalam model kurikulum ini. Pembelajarannya berpusat pada peserta didik (student centererd).
Model kurikulum ini bersumber dari pendidikan pribadi.

Kurikulum humanistic dikembangkan oleh pata ahli pendidikan humanistic, didasari oleh konsep-konsep pendidikan pribadi (personalized education), yaitu John Dewey (progressive education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education).

C. Kurikulum rekonstruksi social
Kurikulum rekontruksi social lebih memusatkan perhatiannya pada pemersalahan yang dihadapi peserta didik dalam masyarakat kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan intruksional.
Pendidikan merupakan kegiatan bersama, interaksi dan kerja sama. Kerja sama atau interaksi bukan hanya terjadi pada peserta didik dan guru melainkan juga antara peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan orang-orang lingkungannya dan sumber-sumber belajar lainnya. Melalui interasi kerjasama ini, peserta didik berusaha memecahkan permasalahan yang dihadapinya dengan masyarakat, menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.

Kurikulum rekonstruksi social memiliki kompenen-kompenen yang sama dengan model kurikulum lain, tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda. Setiap tahun program pendidikan mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan utama dari rekonstruksi social adalah menghadapkan para peserta didik dengan tantangan, ancaman, hambatan, atau gangguan yang biasanya dihadapi manusia. Tantangan merupakan bidang garapan dari studi social yang perlu didekati dari bidang-bidang lain, seperti ekonomi, sosialogi, spikologi, estetika, bahkan pengetahuan alam dan matematika. Masalah-masalah masyarakat bersifat universal dan hal ini dapat dikaji dalam kurikulum.

Dalam pembelajaran rekonstruksi social, para pengembangan kurikulum berusaha mencari keselarasan antara tujuan nasional dengan tujuan peserta didik. Guru-guru berusaha membantu para peserta didik menemukan minat dan kebutuhannya. Para peserta didik sesuai dengan minatnya masing-masing, berusaha memecahkan masalah social yang dihadapinya.

Kerja sama yang terbentuk baik antara individu dalam kegiatan kelompok, maupun antarkelompok dalam kegiatan pleno, sangat mewarnai metode rekonstruksi social. Kerja sama ini juga terjadi antara peserta didik dengan tokoh masyarakat. Bagi rekontruksi social, belajar merupakan kegiatan bersama, ada ketergantungan antara seorang dengan yang lainnya. Dalam kegiatan belajar mereka tidak ada kompetesi, yang ada adalah kerja sama, saling pengertian dan consensus. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran yang cocok adalah pendekatan pembelajaran kooperatif, bukan kompetitif (Widyastono, 2000).

D. Kurikulum kompetensi
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan kompetensi menjadi suatu keharusan. Setiap orang dituntut kompeten dibidangnya. Kompetensi dapat didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak (depdiknas, 2004.).
sementara itu, menurut spencer dan spencer (1993) kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang yang berhubungan timbal balik dengan suatu criteria efektif atau kecakapan terbaik seseorang dalam pekerjaan atau keadaan.

Selanjutnya, berdasarkan kajian dari literature. Widyastono (2013) merumuskan kompetensi adalah pengetahuan (kognitif) yang setelah dimiliki seseorang, harus diwujudkan dalam bertindak (spikomotor) dan bersikap (afektif). Seseorang dikatakan kompeten dibidang tertentu, apabila ia memiliki pengetahuan dibidang itu, kemudian pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bertindak dan bersikap dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, kita tau bahwa merokok dapat mengganggu kesehatan, tetapi masih ada diantara kita hobi nya merokok. Nah, orang yang hobi nya merokok itu, dapat dikatakan baru sekadar memiliki pengetahuan dibidang kesehatan, tetapi belum memiliki kompetensi atau belum kompeten dibidang kesehatan karena pengetahuannya belum diwujudkan dalam bertindak dan bersikap.

Sejalan dengan perkembangan ilmu dan tekonologi , dibidang pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemelihararaa  dan pengawetan ilmu tersebut, melainkan pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang benar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih spesifik dan menjadi perilaku yang dapat diamati atau diukur. Penerapan tekonologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum ada dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat keras (teknologi alat) dan perangkat (teknologi system).

Model – Model Pengembangan Kurikulum
Model pengembangan kurikulum adalah model yang digunakan untuk mengembangkan suatu kurikulum, dimana pengembangan kurikulum dibutuhkan untuk memperbaiki atau menyempurnakan kurikulum yang dibuat untuk dikembangkan sendiri baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah atau sekolah.

Untuk melakukan pengembangan kurikulum ada berbagai model pengembangan kurikulum yang dapat dijadikan acuan atau diterapkan sepenuhnya. Secara umum, pemilihan model pengembangan kurikulum dilakukan dengan cara menyesuaikan sistem pendidikan yang dianut dan model konsep yang digunakan.

Terdapat banyak model pengembangan kurikulum yang dikembangkan oleh para ahli. Sukmadinata (2005:161) menyebutkan delapan model pengembangan kurikulum yaitu: the administrative ( line staff ), the grass roots, Bechamp’s system, The demonstration, Taba’s inverted model, Rogers interpersonal relations,Systematic action, dan Emerging technical model. Idi (2007:50) mengklasifikasikan model-model ini ke dalam dua grup besar model pengembangan kurikulum yaitu model Zais dan model Roger. Masing-masing kelompok memuat beberapa model yang telah diklasif ikasikan oleh Sukmadinata di atas.

A. Model Robert Zais
Robert S. Zais adalah ahli kurikulum yang banyak melontarkan ide-idenya sekitar tahun 1976. Zais mengemukakan delapan model pengembangan kurikulum, yaitu: The Administrative (Line –Staff) Model, The Grass-Roots Model, The Demostration Model,Beauchamp’s System Model,Taba’s Inverted Model, Roger’s Interpersonal Relations Model, The Systematic Action-Research Model, Emerging Technical Model.

1. The Asdministratif (line-staff) / Model Administrasi
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model pengembangan kurikulum paling lama dan paling banyak dikenal. Model ini diberi nama model administratif atau line-staff atau bisa juga dikenal top-down karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator atau dari pemegang kebijakan (pejabat) pendidikan, kemudian secara struktural dilaksanakan di tingkat bawah.
Menurut Sanjaya Proses pengembangan kurikulum model ini dilakukan dengan empat langkah, yaitu sebagai berikut:
• Langkah pertama, dimulai dari pembentukan tim pengarah oleh pejabat pendidikan. Anggota tim biasanya terdiri dari pejabat yang ada di bawahnya, seperti para pengawas pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan bisa juga ditambah dari tokoh dunia kerja. Tugas tim pengarah ini adalah merumuskan konsep dasar, garis-garis besar kebijakan, menyiapkan rumusan falsafah, dan tujuan umum pendidikan.

• Langkah kedua, menyusun tim atau kelompok kerja untuk menjabarkan kebijakan atau rumusan-rumusan yang telah disusun oleh tim pengarah. Anggota kelompok kerja ini adalah para ahli kurikulum, para ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, ditambah dengan guru-guru senior yang dianggap sudah berpengalaman. Tugas pokok tim ini adalah merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan-tujuan umum, memilih dan menyusun sequence bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran dan alat atau petunjuk evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru.

• Langkah ketiga, apabila kurikulum telah selesai disusun, selanjutnya hasilnya diserahkan kepada tim perumus untuk dikaji dan diberi catatan-catatan atau direvisi. Bila dianggap perlu kurikulum itu diuji cobakan dan dievaluasi kelayakannya oleh suatu tim yang ditunjuk oleh para administrator. Hasil uji coba tersebut digunakan sebagai bahan penyempurnaan.
•  Langkah keempat, para administrator selanjutnya memerintahkan kepada setiap sekolah untuk mengimplementasikan kurikulum yang telah tersusun itu. Berdasarkan langkah-langkah pengembangan seperti yang telah dijabarkan di atas tampak bahwa dalam model pengembangan kurikulum ini guru hanya sebagai pelaksana kurikulum yang telah ditentukan oleh para pemegang kebijakan.

A. Model Grass-Roots 
Model Inisiatif pengembangan kurikulum dalam model ini dimulai dari lapangan atau dari guru-guru sebagai implementator. Dalam model pengembangan ini, seorang guru, sekelompok guru, atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum.

Model grass-Root ini didasarkan atas empat prinsip yang dikemukakan oleh Smith, Stanley, dan Shores yaitu:
• Kurikulum bertambah baik jika kemampuan profesional guru bertambah baik.
• Kompetensi guru akan bertambah baik jika guru terlibat secara pribadi di dalam merevisi kurikulm.
• Jika guru terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi, mendefinisikan dan memecahkan masalah, mengevaluasi hasil, maka hasil pengembangan kurikulum akan lebih bermakna.
• Hendaknya diantara guru-guru terjadi kontak langsung sehingga mereka dapat saling memahami dan mencapai suatu konsensus tentang prinsip-prinsip dasar, tujuan, dan rencana.

Adapun kondisi yang memungkinkan guru dapat melakukan pengembangan kurikulum berdasarkan model grass-root ini menurut Sanjaya adalah sebagai berikut:
• Manakala kurikulum itu benar-benar bersifat lentur sehingga memberikan kesempatan kepada setiap guru secara lebih terbuka untuk memperbaharui atau menyempurnakan kurikulum yang sedang diberlakukan.
• Pengembangan kurikulum hanya mungkin terjadi manakala guru memiliki sikap profesional yang tinggi disertai kemampuan yang memadai.

Menurut Sanjaya ada beberapa langkah pengembangan kurikulum yang dapat dilakukan sesuai dengan model Grass-Root ini, yaitu sebagai berikut:
• Menyadari adanya masalah, diawali dengan keresahan guru tentang kurikulum yang berlaku. Misalnya dirasakan ketidakcocokan penggunaan strategi pembelajaran, atau masalah kurangnya motivasi belajar siswa dan lain sebagainya.

• Mengadakan refleksi, setelah dirasakan adanya masalah selanjutnya mencari penyebab munculnya masalah tersebut. Refleksi dilakukan dengan mengkaji literatur yang relevan, atau melakukan diskusi dengan teman sejawat, dan mengkaji sumber dari lapangan.

• Mengajukan hipotesis, berdasarkan hasil kajian refleksi, selanjutnya guru memetakan berbagai kemungkinan munculnya masalah dan cara penanggunalangannya.

• Menentukan hipotesis yang sangat mungkin dekat dan dapat dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan.

• mengimpelementasikan perencanaan dan mengevaluasinya secara terus-menerus hingga terpecahkan masalah yang dihadapi.

• Membuat dan menyusun laporan hasil pelaksanaan pengembangan melalui grass-root. Langkah ini sangat penting untuk dilakukan sebagai bahan publikasi dan diseminasi sehingga memungkinkan dapat dimanfaatkan dan diterapkan oleh orang lain yang pada gilirannya hasil pengembangan dapat tersebar.

Berdasarkan penjabaran di atas bahwa di dalam model grass-root ini peranan guru sebagai implementator perubahan dan penyempurnaan kurikulum sangat menentukan. Tugas para administrator dalam pengembangan model ini hanya sebagai motivator dan fasilitator.

A. The Demostration Model 
Model demontrasi pada dasarnya bersifat grass-root, datang dari bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan kurikulum.
Menurut Smith, Stanley, dan Shores dikutip oleh Sukmadinata model demonstrasi ini terdiri atas dua bentuk, yaitu:

• Bentuk pertama cenderung bersifat formal, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Proyek ini bertujuan mengadakan penelitian dan pengembangan tentang salah sat atu beberapa segi/komponen kurikulum. Hasil penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat digunakan bagi lingkungan yang lebih luas. Kegiatan penelitian dan pengembangan ini biasanya diprakarsai dan diorganisasi oleh instansi pendidikan yang berwenang, seperti direktorat pendidikan, pusat pengembangan kurikulum, dan sebagainya.

• Bentuk kedua kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada, mencoba mengadakan penelitian dan pengembangan sendiri. Dengan kegiatan ini mereka mengharapkan ditemukan kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik untuk kemudian digunakan di daerah yang lebih luas.

Ada beberapa kebaikan dari pengembangan kurikulum dengan model demonstrasi ini yaitu:
• Karena kurikulum disusun dan dilaksanakan dalam situasi tertentu yang nyata, maka akan dihasilkan suatu kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih parkatis.

• Pengembangan kurikulum dalam skala kecil atau aspek tertentu yang khusus, sedikit kemungkinan untuk ditolak oleh administrator dibandingkan dengan pengembangan yang menyeluruh.

• Pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan model ini dapat mengatasi hambatan yang sering dialami, yaitu dokumentasinya bagus tetapi pelaksanaannya tidak ada.

• Model ini menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program baru. Selain memiliki kebaikan, model ini juga memiliki kelemahan, yaitu bagi guru-guru yang tidak berpartisifasi akan menerimanya dengan separuh hati dan yang terburuk mungkin akan terjadi apatisme.

D. Beauchamp’s System Model / Model Beauchamp
Pengembangan kurikulum dengan menggunakan metode beauchamp memiliki lima bagian pembuat keputusan. Lima tahap tersebut adalah:
1. Memutuskan arena pengembangan kurikulum, suatu keputusan yang menjabarkan ruang lingkup upaya pengembangan.
2. Menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa sajakah yang ikut terlibat dalam pengembangan kurikulum.
3. Organisasi dan prosedur pengembangn kurikulum. Langkah ini berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhandesain kurikulum.
4. Implementasi kurikulum, yakni kegiatan untuk menerapkan kurikulum seperti yang sudah diputuskan dalam ruang lingkup pengembangan kurikulum.
5. Evaluasi kurikulum.

E. Model Taba (Converter Model)
Model ini dikembangkan oleh Hilda Taba atas dasar data induktif yang disebut model terbalik, karena biasanya pengembangan kurikulum didahului oleh konsep-konsep yang datangnya dari atas secara deduktif, terlebih dahulu mencari data dari lapangan dengan cara mengadakan percobaan, kemudian disusun teori atas dasar hasil nyata, baru diadakan pelaksanaan.

Taba menggunakan pendekatan akar rumput (grass-roots approach) bagi perkembangan kurikulum. Taba percaya kurikulum harus dirancang oleh guru dan bukan diberikan oleh pihak berwenang. Menurut Taba guru harus memulai proses dengan menciptakan suatu unit belajar mengajar khusus bagi murid-murid mereka disekolah dan bukan terlibat dalam rancangan suatu kurikulum umum. Karena itu Taba menganut pendekatan induktif yang dimulai dengan hal khusus dan dibangun menjadi suatu rancangan umum

Menghindari penjelasan grafis dari modelnya, Taba mencantumkan lima langkah urutan untuk mencapai perubahan kurikulum, sebagai berikut :
a. Producing Pilot Units (membuat unit percontohan) yang mewakili peringkat kelas atau mata pelajaran. Taba melihat langkah ini sebagai penghubung antara teori dan praktek.
1) Diagnosis of needs (diagnosa kebutuhan). Pengembang kurikulum memulai dengan menentukan kebutuhan-kebutuhan siswa kepada siapa kurikulum direncanakan.
2) Formulation of objectives (merumuskan tujuan). Setelah kebutuhan siswa didiagnosa, perencana kurikulum memerinci tujuan – tujuan yang akan dicapai.
3) Selection of content (pemilihan isi). Bahasan yang akan dipelajari berpangkal langsung dari tujuan-tujuan
4) Organization of content (organisasi isi). Setelah isi/bahasan dipilih, tugas selanjutnya adalah menentukan pada tingkat dan urutan yang mana mata pelajaran ditempatkan.
5) Selection of learning experiences (pemilihan pengalaman belajar). Metodologi atau strategi yang dipergunakan dalam bahasan harus dipilih oleh perencana kurikulum.
6) Orgcmzation of learning activities (organisasi kegiatan pembelajaran). Guru memutuskan bagaimana mengemas kegiatan-kegiatan pembelajaran dan dalam kombinasi atau urutan seperti apa kegiatan-kegiatan tersebut akan digunakan.
7) Determination of what to evaluate and of the ways and means of doing it (Penentuan tentang apa yang akan dievaluasi dan cara serta alat yang dipakai untuk melakukan evaluasi). Perencana kurikulum harus memutuskan apakah tujuan sudah tercapai.
8) Checking for balance and sequence (memeriksa keseimbangan dan urutan). Taba meminta pendapat dari pekerja kurikulurn untuk melihat konsistensi diantara berbagai bagian dari unit belajar mengajar, untuk melihat alur pembelajaran yang baik dan untuk keseimbangan antara berbagai macam pembalajaran dan ekspresi.

b. Testing Experimental Units (menguji unit percobaan/eksperimen). Uji ini diperlukan untuk mengecek validitas dan apakah materi tersebut dapat diajarkan dan untuk mcnetapkan batas atas dan batas bawah dari kemampuan yang diharapkan.

c. Revising and Consolidating (revisi dan konsolidasi). Unit pembelajaran dimodifikasi menyesuaikan dengan keragaman kebutuhan dan kemampuan siswa, sumber daya yang tersedia dan berbagai gaya mengajar sehingga kurikulum dapat sesuai dengan semua tipe kelas.

d. Developing a framework (pengembangan kerangka kerja). Setelah sejumlah unit dirancang, perencana kurikulum harus memeriksa apakah ruang lingkup sudah memadai dan urutannya sudah benar.

e. Installing and disseminating new units (memasang dan menyebarkan unit-unit baru). Mengatur pelatihan sehingga guru-guru dapat secara efektif mengoperasikan unit belajar mengajar di kelas mereka.

F. Roger’s Interpersonal Relations Model 
Kurikulum yang dikehendaki hendaknya dapat mengembangkan individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi secara Interpersonal.
Ada empat langkah pengembangan kurikulum model ini:
• Pertama; pemilihan target dari system pendidikan. Dalam penentuan target ini satu-satunya kriteriya yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu minggu para pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang rileks, tidak formal.

• Kedua; partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Sama seperti yang dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan kelompok. Keikutsertaan guru dalam kelompok tersebut sebaiknya bersifat suka rela, lama kegiatan bisa satu minggu atau kurang.
• Ketiga; pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator dari luar.
• Keempat; partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua, dengan anak dan dengan guru.
Model ini tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Bagi rogers yang terpenting adalah aktivitas dan interaksi. Berkat aktivitas dalam interaksi individu akan berubah. Metode pendidikan yang diutamakan Rogers adalah sensitivility, encounter group dan training group.

G. The Systematic Action-Research Model 
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal yaitu hubungan antarmanusia, organisasi sekolah dan masyarakat, serta otoritas ilmu. Penyusunan kurikulum harus memasukkan pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action research.
Langkah-langkah dalam model ini adalah sebagai berikut:
1. Merasakan adanya suatu masalah dalam kelas atau sekolah yang perlu diteliti secara mendalam
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya
3. Merencanakan secara mendalam tentang bagaimana pemecahan masalahnya
4. Menentukan keputusan-keputusan apa yang perlu diambil sehubungan dengan maslah tersebut
5. Melaksanakan keputusan yang telah diambil dan menjalankan rencana yang telah disusun
6. Mencari fakta secara meluas
7. Menilai kekuatan dan kelemahannya.

H. Emerging Technical Model 
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta nilai-nilai efisiensi efektivitas dalam bisnis juga mempengaruhi perkembangan perkembangan model-model kurikulum. Tumbuh kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan atas hal tersebut yang menurut Sukmadinata diantaranya:

a. The behavioral Analysis Model
menekankan pada penguasaan perilaku atau kemampuan. Perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi perilaku-perilaku perilaku sederhana yang tersusun secara hierarkis. Siswa mempelajari perilaku tersebut secara berangsur-angsur mulai dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks.

b. The System Analysis Model,
berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah pertama dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil belajar tersebut. Langkah ketiga adalah mengidentifikasi tahap-tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah keempat membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan.

c. The Computer-Based Model, 
suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentfikasi seluruh unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil yang diharapkan. Guru dan siswa diwawancarai tentang pencapaian tujuan tersebut. Data tersebut disimpan di dalam komputer dan dimanfaatkan dalam menyusun materi pelajaran untuk peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Cholis, Muhammad Nur. 2015. Model – Model kurikulum. Dalam www.muh.cholis.co.id Di unduh pada tanggal 29 – 03 – 2018
Erlita. 2016 . Pengembngan Kurikulum Model Rogers. Dalam http://erlitapunyacerita.blogspot.co.uk/2016/01/pengembangan-kurikulum-model-rogers.html?m=1 Diunduh pada tanggsl 10 – 04 - 2018
Ridha, Salma. 2016. Pengembangan Kurikulum Model Zais Dan Tyler. Dalam
https://saimahridha.wordpress.com/2016/10/13/pengembangan-kurikulum-model-zais-dan-tyler/

0 Response to "Model – Model Kurikulum"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close