Konsep Perkembangan Moral pada Manusia
Monday 29 August 2016
Add Comment
Konsep Perkembangan Moral pada Manusia
Perkembangan
sosial hampir dapat dipastikan juga dengan perkembangan moral, sebab perilaku
moral pada umumnya merupakan unsur fundamental dalam tingkah laku sosial.
Sebagai contoh, seorang individu hanya akan mampu berperilaku sosial dalam
situasi sosial tertentu secara memadai apabila menguasai pemikiran norma
perilaku moral yang diperlukan untuk situasi sosial tersebut. Sebagaimana
seorang anak ketika dilahirkan nampak bagaikan tidak memiliki moral (imoral),
akan tetapi dalam diinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan.
Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (orang tua,
saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang
baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk dan yang tidak
boleh dikerjakan.
Dalam menggambarkan perkembangan moral, teori psikoanalisa dengan pembagian struktur kepribadian manusia menjadi tiga, yaitu id, ego, dan superego. Id adalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek biologis yang irrasional atau tidak disadari. Egoadalah struktur kepribadian yang terdiri atas aspek psikologis, yaitu sub sistem ego yang rasional dan disadari, namun tidak memiliki moralitas. Superego adalah strktur kepribadian yang terdiri atas aspek sosial yang berisikan sistem nilai dan moral, yang benar-benar memperhitungkan “benar” dan “salahnya” sesuatu.
Menurut teori psikoanalisa klasik Sigmund Freud, semua orang mengalami konflik oedifus. Konflik ini akan menghasilkan pembentukan struktur kepribadian yang dinamakan Freud sebagai Superego. Ketika anak mengatasi konflik oedifus ini, maka perkembangan moral sudah dimulai. Salah satu alasan mengapa anak mengatasi konflik oedifus disebabkan karena adanya perasaan khawatir akan kehilangan kasih sayang orang tua dan ketakutan akan dihukum karena keinginan seksual mereka yang tidak dapat diterima terhadap orang tua yang berbeda jenis kelamin. Untuk menghindari kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan kasih sayang orang tua, anak-anak membentuk suatu superego dengan mengidentifikasikan diri dengan orang tua yang sama jenis kelaminnya melalui penginternalisasian standar-standar benar dan salah terhadap orang tua.
Karena itu, sebagai sumber penginternalisasian individu manusia dalam struktur superego ini yaitu ego-ideal atau yang dikenal dengan istilah kata hati (conscience). Sebab kata hati ini akan menggambarkan bagian dalam atau kehidupan mental seseorang, peraturan-peraturan masyarakat, hukum, kode, etika, dan moral. Dan dikatakan oleh Freud, perkembangan superego secara khas akan menjadi sempurna pada usia kira-kira 5 tahun. Ketika hal ini terjadi, maka suara hati akan terbentuk. Dengan pengertian bahwa pada usia sekitar 5 tahun, orang sudah dapat menyelesaikan pengembangan moralnya namun hal ini tetap kembali pada kemampuan individu itu masing-masing.
Berentetan dengan paparan sebelumnya terkait konsep moral dikatakan oleh desmita (2008) dalam bahasannya tentang teori belajar sosial yang melihat tingkah laku moral sebagai respons atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral individu manusia. Sebagai contoh, bila anak diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan kontrak sosial, mereka akan mengulangi perilaku tersebut. Sebaliknya, bila mereka dhukum atas perilaku yang tidak bermoral, maka perilaku itu akan berkurang atau hilang.
B. Isu Moralitas di Sekolah dan di Masyarakat
Berurusan dengan masalah moral adalah bagian yang sangat nyata dari kehidupan bagi individu, kelompok, dan bahkan seluruh masyarakat. Dikutif dari buku Psichology Education; Windoews on Classroom karya Paul Eggen & Kauchak bahwaselama perang dunia II, misalnya, Amerika Serikat dihadapkan dengan pilihan menjatuhkan bom atom atau menyerang Jepang dengan jutaan nyawa yang ada.Dan juga, bagaimana intervensi AS di Vietnam menyebabkan adanya dilema moral bagi Amerika Serikat yang hanya baru-baru ini ia mulai jelas menilai keterlibatannya di sana. Amerika Serikat pergi berperang dengan Irak, seolah-olah untuk membebaskan Kuwait, namun pada kenyataannya untuk melindungi aliran minyak Timur Tengah. Dan Armedforces US yang memilikiActedas "pasukan penjaga perdamaian" di daerah bergejolak lain di dunia, seperti Haiti dan Bosnia. Semua konflik ini memaksa kita untuk mempertimbangkan pertanyaan: Haruskah Amerika Serikat menggunakan militernya untuk dijadikan sebagai "polisi" dunia?Pada tingkat individu, apa implikasi hukum yang membutuhkan sepeda motor untuk memakai helm dan penumpang mobil memakai sabuk pengaman? Seberapa jauh pemerintah harus pergi dalam mengatur persoalan perilaku demi mencegah terjadinya pencederaan ataukah dengan melakukanpenyelamatan nyawa?Pada tingkat budaya, apa yang harus diajarkan di sekolah-sekolah? Kelompok kepentingan khusus, misalnya, telah bermerek beberapa literatur klasik budaya Amerika, seperti Huckleberry Finn, sebagai rasis atau bias gender. Di lain hal telah diserukan studi kreasionisme sebagai teori paralel dengan evolusi. Sekali lagi, di mana kita harus menarik benang merahnya? Masyarakat dan sekolah yang diciptakan oleh masyarakat yang mengalami pergulat dengan isu-isu moral.
Beberapa literatur klasik budaya ini berfokus pada masalah etika. Misalnya, Jean Valjean, tokoh utama dalam Victor Hugo Les Miserable, di mana Broadway musikal populer didasarkan, dihadapkan dengan pilihan makan makanan keluarganya dengan menjadi pencuri ataukah memungkinkan ia untuk pergi dalam keadaan lapar. Masalah etika juga telah umum digunakan dalam literatur dirancang untuk orang-orang muda. Misalnya, Charlotte di Web Charlotte dihadapkan dengan dilema menyelamatkan Wilbur yakni seekor babi yang membuatnya justru kehilangan hidupnya sendiri. Master tua Yeller ini dihadapkan dengan masalah moral ketika kehilangan anjingnya setelah membiarkan ancaman kesehatan potensial dari penyakit rabies. Siswa umumnya mempelajari buku-buku seperti The Yearling dan A Tale of Two Cities bukan hanya karena mereka menyukai sastra yang baik tetapi juga karena mereka memperkenalkan masalah moral yang tanpa jawaban yang jelas.
Dalam buku terlaris tentang Penutupan The American Mind, Alan Bloom (1987) mengkritik pendidikan tinggi di Amerika Serikat karena kurangnya keberanian dalam menangani isu-isu moral. Misalnya bagaimana penyikapan masalah kontemporer terkait penyalahgunaan narkoba, kehamilan remaja, dan kejahatan remaja yangtidak lepas dari perhelatan dilema moral. Ataukah bagaimana seharusnya sekolah merespon isu moralitas ini agar dampak penyebarannya tidak semakin menjadi-jadi dalam arti memungkin terjadinya penyebaran dampak buruk bagi yang lain sebagaimana timbulnya berbagai gejolak moralitas yang terjadi di kehidupan sosial kemasyarakatan yang nampak bagaikan hilangnya perilaku moralitas yang sifatnya tidak manusiawi dan termasuk didalamnya seolah-olah mengesampingkan rasa cinta akan kondisi alam kehidupan manusia di dunia ini.
Dengan melihat timbulnya perhelatan dari berbagai isu moral yang terjadi, baik di sekolah maupun di masyarakat sorang penulis buku terlaris Educating for Character yakni Thomas Lickona sekaligus sebagai seorang psikolog perkembangan di State University of New York seperti diungkapkan dalam bukunya tentang Character Matters, Lickonamemperlihatkan bagaimana gambaran moral yang dialami oleh kebanyakan generasi muda saat ini termasuk didalamnya bagaimana penawaran Lickona dalam mengelola lingkungan moral agar menghasilkan lingkungan yang wajar, wajar dalam arti terlepas dari isu moral yang bisa menimbulakan kemiringan etika, tingkah laku ataupun perlakuan seorang individu terhadap diri, sesamanya dan juga lingkungannya. Dikatakan bahwa:
Pada generasi sebelumnya, keberadaan keluarga sudah ada di dalam konteks masyarakat yang lebih luas yang mendukung nilai-nilai yang orang tua coba ajarkan ke anak mereka.
Tak lama kemudian. Saat ini, melawan pada lingkungan sosial, dalam bagian besar dari penciptaan media dan budaya pasar adalah pertempuran yang tidak pernah berakhir. Wartawan Amy Welborn berkomentar tentang bagaimana pasar semakin bertujuan untuk menimbulkan hasrat seksual pada anak. “Anda melihat di rak pakaian anak perempuan mulai dari usia tujuh tahun terdapat kesulitan dalam menemukan pakaian yang tidak mencerminkan pakaian wanita nakal”.
Kerusakan seksual terhadap anak ini bisa dibilang serangan paling berbahaya pada kepolosan dan karakter mereka, tetapi budaya media membungkus nilai-nilai mereka dengan cara lain juga. Banyak orang tuanya yang tertekan oleh seberapa materialistisnya anak-anak mereka, tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki. Semakin banyak pemuda mencari harga diri dan identitas mereka dengan pakaian ataukah dengan kendaraan yang bermerek dan modernitas.
Saya (Lickona) sarankan sebagai pedoman yang spesifik yang dapat dilakukan orang tua untuk mencoba mengelola lingkungan media untuk mengontrol program TV, film, musik, video game, dan internet. Sebagai aturan dasar: bagaimana cara orang tua agar anak dapat meminta izin untuk menyaksikan setiap program acara TV tertentu, video games, item yang akan diunduh dari internet, dll. Dan perlu dipahami bahwa kehadiran media bagi kehidupian anak bukanlah suatu hak asasi melainkan sebagai bentuk hak istimewa bagi anak.
Bagaimana pun, sama pentingnya mengambil pendekatan pendidikan yang berupaya menjelaskan keberadaan moral kita untuk sesuatu, dari pada sekedar melarang. Jika kita hanya melarang anak untuk menyaksikan acara program TV, film, atau CD tanpa membuat alasan moral yang jelas kenapa kita melakukannya, justru yang timbul kita hanya akan membuat kebencian pada anak-anak kita, bukan pengembangan hati nurani dari pengendalian internal.
Mengambil pendekatan pendidikan digambarkan oleh seorang ibu yang memiliki putrid usia 14 tahun, Kylene, yang terus mengganggunya untuk dapat menonton serial komedi “Friends” yang saat itu tengah popular, dengan mencolek pinggulnya saat tidur. Kyelen mengatakan semua teman-temannya di sekolah menontonnya, dan dia merasa “benar-benar ketinggalan zaman” karena dia tidak menontonnya. Ibunya mengatakan “maaf” tapi dia tidak menyetujui nilai-nilai dalam acara itu.
Kylene tidak mau berhenti. Akhirnya ibunya berkata, “Oke, mari kita menonton satu episode bersama-sama”. Beberapa menit menonton serial itu, sang ibu berkata, “Biarkan ibu memberitahumu mengapa ibu bermasalah dengan apa yang baru saja pria itu katakana ke teman wanitanya”. Pada akhir acara, Kylene berkata, “Baiklah, Bu, aku mengerti” dan itulah terakhir dari dia merengek tentang Friends. Standar moral telah disampaikan, dengan konkret.
Mengelola lingkungan moral saat ini juga berarti membutuhkan tingkat pengawasan yang lebih tinggi dibandingkan pada masa lalu. Seorang ibu dari gadis berumur 11 dan 6 tahun, tidak tahu orang tua lainnya yang bisa dia percaya, ia mengatakan: “Teman-teman anak saya datang ke rumah kami hampir setiap hari. Mereka merasa aman di sini, tetapi saya tidak mengizinkan anak perempuan saya untuk pergi ke rumah anak yang lain, mungkin seperti terdengar keras. Saya tidak tahu bahasa apa yang akan digunakan di sana, apa yang ditayangkan di TV atau VCD, apakah akan ada pornografi di meja kopi, atau siapa tau ia punya pacar di sana.
Kata seorang ibu kepada anak perempuannya yang berusia 16 tahun yang akan pergi ke pesta (yang orang tua tuan rumah akan mengawasi): “saya akan menelpon untuk mengecek apakah kau berada di sana. Jika kau tidak berada di sana, saya akan memberitahu polisi dan melaporkan kau sebagai anak hilang”. Putrinya berkata, “Ibu tidak akan melakukan hal itu”. Ibu berkata, “saya akan melakukannya”.
Orang tua yang bersusah payah untuk mengawasi anak mereka, dapat mengambil hati dari apa yang ditunjukkan pada penelitian bahwa orang tua yang turun tangan berarti mereka yang menetapkan aturan dan harapan; mengetahui kegiatan teman dan perilaku anak-anak mereka; serta memonitor mereka sesuai dengan tingkatan usianya.
Oleh sebab itu sebagai bentuk argumentasi Thomas Lickona menyikapi isu moral yang terjadi, disebutkan ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi isu moralitas sebagai bentuk pencegahan sekaligus untuk menyembuhkan berbagai masalah isu moralitas yang terjadi di sekolah maupun di masyarakat, secara garis besar dipaparkan seperti berikut ini:
1. Di mana pun proses pendidikan itu berlangsung sudah sepatutnya pengembangan karakter dijadikan sebagai prioritas utama yang diawali dengan kepedulian berperilaku disiplin berkarakter.
2. Melibatkan orang tua dalam perencanaan program pendidikan karakter anak
3. Meningkatkan semua arus komunikasi positif antara sekolah dan rumah tentang masalah perkembangan anak
4. Gunakan ikatan harmonis untuk memperbaiki perilaku anak
5. Sebutkan kebajikan yang dibutuhkan untuk menjadi anak yang baik
6. Ajarkan pentingnya tujuan hidup yang baik serta persoalan keunggulan dan integritas dan berlaku adil
7. Ajarkan sekan anak bisa bertanggung jawab atas tindakannya
8. Membantu anak belajar dari kesalahan dan membantunya dalam membuat rencana perubahan perilaku yang mengarah pada perbaikan diri
C. Deskripsi Perkembangan Moral Menurut Teori Kognitif Piaget dan Teori Kohlberg
Dipublikasikan oleh Piaget dalam teori kognitifnya yang berdasarkan hasil kajian pengamatannya bahwa pada dasarnya pengembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang diabadikan dalam teorinya tentang perkembangan intelektual, bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima dan menaati sistem peraturan. Berdasarkan hasil observasinya terhadap aturan-aturan permainan yang digunakan anak-anak tentang moralitas dapat dibedakan menjadi atas dua tahap, yaitu tahap heteronomous morality dan autonomous morality (Seifer & Huffnung (1994) dalam Desmita (2008)).
Heteronomous morality atau Morality of constraint ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak usia kira-kira 6 hingga 9 tahun. Dalam tahap berpikir ini, anak-anak menghormati ketentuan-ketentuan suatu permaianan sebagai sesuatu yang bersifat suci dan tidak dapat diubah, karena berasal dari otoritas yang dihormatinya. Anak-anak pada masa ini yakin akan keadilan immanen, yaitu suatu konsep bahwa bila suatu aturan dilanggar, hokum akan segera dijatuhkan. Mereka percaya bahwa pelanggaran diasosiasikan secara otomatis dengan hukuman dan setiap pelanggaran akan dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan seorang anak dengan mengabaikan apakah kesalahan itu disengaja atau kebetulan.
Sedangkan, Autonomous morality atau morality of cooperation ialah tahap perkembangan moral yang terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan dan hukuman merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya. Bagi anak-anak dalam tahap peraturan-peraturan hanyalah masalah kenyamanan dan kontrak sosial yang telah disetujui bersama, sehingga mereka menerima dan mengakui perubahan menurut kesepakatan. Dalam tahap ini, anak juga meninggalkan penghormatan sepihak kepada otoritas dan mengembangkan penghormatan kepada teman sebayanya. Mereka nampak membandel kepada otoritas serta lebih menaati peraturan kelompok sebaya atau pimpinannya.
Hampir sejalan dengan Teori Piaget, perkembangan moral sebagaimana yang digagaskan dalam Teori Kohlberg merupakan perluasan, modifikasi, dan redefinisi atas Teori Piaget. Teori ini didasarkan atas analisisnya teerhadap hasil wawancara dengan anak laki-laki usia 10 hingga 16 tahun yang dihadaapkan paa suatu dilema moral, di mana mereka harus memilih antara tindakan menaati peraturan atau memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang bertentangan dengan peraturan.
Berdasarkan pertimbangan yang diberikan atas pertanyaan kasus dilematis yang dihadapi seseorang, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (stage). Kohlberg setuju dengan Piaget yang menjelaskan bahwa bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Tetapi, tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas spontan dari anak-anak. Anak-anak memang berkembang melalui interaksi sosial, namun interaksi ini memiliki corak khusus, di mana faktor pribadi yaitu aktivitas-aktivitas anak ikut berperan.
Hal penting lainnya dari teori perkembangan Kohlberg adalah orientasinya untuk mengungkapkan moral yang hanya ada dalam pikiran dan yang akan dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata. Semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin terlihat moralitasnya yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.
TABEL
Tingkat dan Tahap Perkembangan Moral Menurut Kohlber
TINGKAT (LEVELS)
|
TAHAP (STAGES)
|
1. Prakonvesional
Moralitas
Pada level ini
anaka mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu
perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman). Anak tidak
melanggar aturan karena takut akan ancaman hukuman dari otoritas.
2. Konvesional
Suatu
perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau
kelompok sebaya.
3. Pasca-Konvensional
Pada level ini
aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir,
tetapi diperlukan sebagai subjek. Anak menaati aturan untuk menghindari
hukuman kata hati.
|
1. Orientasi Kepatuhan
dan Hukuman
Pemahaman anak tentang baik dan
buruk ditentukan oleh otoritas. Kepatuhan terhadap aturan adalah untuk
menghindari hukuman dari otoritas.
2. Orientasi
Hedonistik-Instrumental
Suatu
perbuatan dinilai baik apabila fungsi instrument untuk memenuhi kebutuhan
atau kepuasan diri.
3. Orientasi Anak yang
Baik
Tindakan
berorientasi padda orang lain. Suatu perbuatan dinilai baik apabila
menyenangkan bagi orang lain.
4. Orientasi Keteraturan
dan Otoritas
Perilaku yang
dinilai baik adalah menunaikan kewajiban, menghormati otoritas dan memelihara
ketertiban sosial.
5. Orientasi Kontrol
Sosial-Legalistik
Ada semacam
perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosialnya. Perbuatan dinilai baik
apabila sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
6. Orientasi Kata Hati
Kebenaran
ditentukan oleh kata hati, sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yang
bersifat abstrak dan penghormatan terhadap martabat manusia.
|
D. Perkembangan
Moral Melalui Interaksi antara Sesama
Sesuai hasil penelitian pada pekerjaan Kohlberg menunjukkan
bahwa perkembangan moral dapat ditingkatkan melaluidiskusi kelasyang dapat memungkinkan siswamemeriksapemikiranmoral merekasendiri
danmembandingkannya denganorang lain(Oser,
1986). Interaksiantara
rekan-rekansangatefektifkarena mendorongmereka
untuk aktif mencari tahu dan menganalisiskedudukan dari perilaku moral yang berbeda-beda(Kruger, 1992). Berdasarkan paparanataucara
yang lebihkompleksdalam berpikir tentangdilema moral yang
dapat membantu siswadalam
mengevaluasi
kembalipemikiran mereka sendiridan
termasukmembandingkannya dengan orang lain.
Maka diramu beberapa panduan terkait
studi
efektiftentangdilema moralsebagaimana berikut
ini:
1.Fokus pada konflik moral yang sifatnya konkritdan dengan perbedaancara dalam menyikapinya
2. Mendorongsiswauntuk mempertimbangkancara pandang orang lain
3.Mintalah siswauntuk membuat berbagai pilihan yang sifatnya personaldalam merespondilemadanberupaya untuk membenarkanpilihan tersebut
4.Menganalisisperbedaan dari tindakansebagai akibat dari latihan dengan membahas kelebihan dankekurangannya masing-masing.
Selain itu, dalam konteks batasan moral, terhadap penafsiran KaryaKohlbergini mengingatkan kita bahwa dari sekian banyak yanggurulakukandi sekolahdidasarkan padakeputusan moral. Ketikagurumenekankan siswa rasa tanggung jawab, dan membuataturanyang dapat mencegahsiswa daritindakan yang senang mengejeksatu sama lain, menekankanpersoalan industridan kejujuranadvokat, merekasesungguhnya mengajarkan tentang persoalanetika. Sebagaimana undang-undang yangberlaku untuksekolah-sekolahjugamempromosikannilai-nilai ini. Misalnya, hukum publik, yang mengharuskansiswa dengandengan tanpa pengecualianmenekankan bahwa pembelajaran yangditempatkan dilingkunganterbataspaling tidakmungkin,sebab hal ini didasarkan padamasalah etika.
1.Fokus pada konflik moral yang sifatnya konkritdan dengan perbedaancara dalam menyikapinya
2. Mendorongsiswauntuk mempertimbangkancara pandang orang lain
3.Mintalah siswauntuk membuat berbagai pilihan yang sifatnya personaldalam merespondilemadanberupaya untuk membenarkanpilihan tersebut
4.Menganalisisperbedaan dari tindakansebagai akibat dari latihan dengan membahas kelebihan dankekurangannya masing-masing.
Selain itu, dalam konteks batasan moral, terhadap penafsiran KaryaKohlbergini mengingatkan kita bahwa dari sekian banyak yanggurulakukandi sekolahdidasarkan padakeputusan moral. Ketikagurumenekankan siswa rasa tanggung jawab, dan membuataturanyang dapat mencegahsiswa daritindakan yang senang mengejeksatu sama lain, menekankanpersoalan industridan kejujuranadvokat, merekasesungguhnya mengajarkan tentang persoalanetika. Sebagaimana undang-undang yangberlaku untuksekolah-sekolahjugamempromosikannilai-nilai ini. Misalnya, hukum publik, yang mengharuskansiswa dengandengan tanpa pengecualianmenekankan bahwa pembelajaran yangditempatkan dilingkunganterbataspaling tidakmungkin,sebab hal ini didasarkan padamasalah etika.
Argumentasi yang mengatakan bahwa sekolah tidak harus mengajarkan moral yang naif. Sebab nilai akan muncul dengan sendirinya setiap kali seorang guru mengajarkan satu topik sebagai ganti dari yang lain sementara moral mencerminkan nilai-nilai individu yang sesuai dengan kelompok budayanya.
E. Keterkaitan antara Perkembangan Sosial dengan Pribadi Menurut Erikson
Dalam teoripsikososial Erikson, sebagai suatu upayauntuk mengintegrasikan perkembangan kepribadiandan sosial, didasarkanpada asumsi bahwasetiap
orang yang mengembangkan diritiada lain sebagai suatu respon terhadapapa yang sudah
menjadi kebutuhannya. Lebih
lanjut dia menyarankanbahwa perkembangan
yang berlangsung secarabertahap, masing-masing ditandai denganadanya suatu tantanganpsikososial, yang dia
sebutkan dengan istilahmasa
krisis/gawat.
MenurutErikson, resolusipositifterhadapmasa krisisdari hasilsetiap tahapannyacenderunguntukmenimbulkan kepercayaan, perasaanotonom, kemauan untukmengambil inisiatif, dansebagainya, yang berlangsung kira- kira mulai dariperiodetahun kelahiran sampaimasa usia sekolah dasar. Resolusi initerusmengalami masa krisisyang membuat orangmeninggalkan identitastetapnya, seperti kemampuanuntuk mencapaikeintiman,keinginanuntukmenghasilkan, dan terakhirrasaintegritas sebagaiakhirkehidupanyang mendekati. Sebagai guruterhadap siswanya, seyogyanyaharus menjagatantanganperkembangandalam pikiran danstrukturruang kelas sertaterhadap interaksinya dengansiswanya untukmemfasilitasi pertumbuhanmereka di tempat tersebut.
MenurutErikson, resolusipositifterhadapmasa krisisdari hasilsetiap tahapannyacenderunguntukmenimbulkan kepercayaan, perasaanotonom, kemauan untukmengambil inisiatif, dansebagainya, yang berlangsung kira- kira mulai dariperiodetahun kelahiran sampaimasa usia sekolah dasar. Resolusi initerusmengalami masa krisisyang membuat orangmeninggalkan identitastetapnya, seperti kemampuanuntuk mencapaikeintiman,keinginanuntukmenghasilkan, dan terakhirrasaintegritas sebagaiakhirkehidupanyang mendekati. Sebagai guruterhadap siswanya, seyogyanyaharus menjagatantanganperkembangandalam pikiran danstrukturruang kelas sertaterhadap interaksinya dengansiswanya untukmemfasilitasi pertumbuhanmereka di tempat tersebut.
F. Perkembangan
Moralitas, Tanggung Jawab Sosial, serta Kontrol Diri
Meski Piaget diidentifikasi sebagai
pelopor perkembangan
kognitif, namundalam
perjalanan karir pengamatannya ia serius mengkaji
masalahperkembanganmoral.Dia
menyarankanbahwa individuyang maju sebagai
akibatmoralitaseksternalnya, di manaaturanyang ditegakkan olehfigur otoritas, maupun moralitas
yangotonom, di mana merekaakan memandang bahwa moralitas sebagaihal
yang sifatnya rasional danmemiliki
hubungan yang timbal balik.
LawrenceKohlbergdalam mengembangkanteorinya tentang perkembangan moral, sebetulnya dipengaruhiolehkaryaPiaget. Dipersentasikan oleh Kohlbergbahwaorangyang mengalami dilema moral yangambigu terhadap masalah yang membutuhkan keputusanmoral danatas dasartanggapan mereka terhadapdilema tersebut, akan dengan sendirinya mereka mengembangkan sistemklasifikasi untukkeputusan moralyang dihadapinya untuk kemudian difokuskan padakonsekuensiyang mengacu pada diri mereka sendiri. Pada tingkatanetikayang sifatnya konvensional, penalaran moral masyarakatberfokus padakonsekuensibagi orang lain, sedangkanpada tingkatanetikayang berlangsung selama pascakonvensional, penalaran moral ini didasarkan pada prinsipKohlbergyang menyatakan bahwapenalaranyang secara konvensionaldiperlukanpemikiranyang sifatnya operasional konkretsementarapenalaranpascakonvensionaldiperlukanpemikiran yang sifatnya operasionalformal.
Guru dapat mempromosikan perkembangan moral dikelas merekamelalui berbagai cara. Ketika merekamenjelaskan danmenerapkan sistemmanajemen mereka, merekaharus menekankantanggung jawab kepada setiap individudan membangun kepedulianfungsionalnyaterhadapaturanyang telah dirancang untukmelindungi hak-hakorang lain. Siswaharus didorong untukberpikir tentangtopik-topik sepertikejujuran danmenghormati orang lainsehubungan dengankonsekuensinyabagi orang lainyang menunjangprinsip-prinsip dasarsebagai bentuk penghormatannya kepada manusia lainnya. Dan sebagai guruyang menjalin interaksi dengansiswa, merekaharus mengakuibahwa pengaruhnya dapat dijadikansebagai model perandalam mendorong perkembangan moral siswa mereka.
LawrenceKohlbergdalam mengembangkanteorinya tentang perkembangan moral, sebetulnya dipengaruhiolehkaryaPiaget. Dipersentasikan oleh Kohlbergbahwaorangyang mengalami dilema moral yangambigu terhadap masalah yang membutuhkan keputusanmoral danatas dasartanggapan mereka terhadapdilema tersebut, akan dengan sendirinya mereka mengembangkan sistemklasifikasi untukkeputusan moralyang dihadapinya untuk kemudian difokuskan padakonsekuensiyang mengacu pada diri mereka sendiri. Pada tingkatanetikayang sifatnya konvensional, penalaran moral masyarakatberfokus padakonsekuensibagi orang lain, sedangkanpada tingkatanetikayang berlangsung selama pascakonvensional, penalaran moral ini didasarkan pada prinsipKohlbergyang menyatakan bahwapenalaranyang secara konvensionaldiperlukanpemikiranyang sifatnya operasional konkretsementarapenalaranpascakonvensionaldiperlukanpemikiran yang sifatnya operasionalformal.
Guru dapat mempromosikan perkembangan moral dikelas merekamelalui berbagai cara. Ketika merekamenjelaskan danmenerapkan sistemmanajemen mereka, merekaharus menekankantanggung jawab kepada setiap individudan membangun kepedulianfungsionalnyaterhadapaturanyang telah dirancang untukmelindungi hak-hakorang lain. Siswaharus didorong untukberpikir tentangtopik-topik sepertikejujuran danmenghormati orang lainsehubungan dengankonsekuensinyabagi orang lainyang menunjangprinsip-prinsip dasarsebagai bentuk penghormatannya kepada manusia lainnya. Dan sebagai guruyang menjalin interaksi dengansiswa, merekaharus mengakuibahwa pengaruhnya dapat dijadikansebagai model perandalam mendorong perkembangan moral siswa mereka.
0 Response to " Konsep Perkembangan Moral pada Manusia"
Post a Comment