Cara Memberi Bimbingan Dan Konseling Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa

Cara Memberi Bimbingan Dan Konseling Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa_ Dalam mendidik dan mengajar siswa atau peserta didik tak jarang ditemui masalah atau kesulitan belajar yang dialami siswa, mengatasi masalah belajar siswa perlu memperhatikan beberapa hal agar metode atau cara yang diterapkan dalam mengatasi masalah belajar siswa bisa maksimal. Bimbingan dan konseling adalah salah satu metode yang biasa diterapkan di sekolah-sekolah dalam mengatasi siswa yang nakal, berperilaku menyimpang dan mengalami kesulitan belajar. Bagaimanakah baiknya dalam memberikan bimbingan dan konseling kepada siswa yang bermasalah, berikut pemaparannya.

Cara Memberi Bimbingan Dan Konseling Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa

A. Bimbingan terhadap anak lamban belajar
Pada anak lamban belajar (slow learning) adalah anak yang perkembangan belajarnya lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan rata-rata teman seusianya dan tingkat kecerdasannya pun di bawah rata-rata. Mereka di sebut juga dengan anak sub normal, mentally reterted.

Baca juga:

Sedangkan gejala tingkah laku lambat belajar adalah : (1) kelemahan (lambat menerima pelajaran, lambat bekerja, lambat membaca, lambat memahami dan lain-lain), (2) kekurangan kemampuan (kurang kosentrasi, berkomunikasi, kurang kreatif, kurang kemampuan memimpin), (3) Prestasi yang rendahn (baik belajar/kerja), (4) Kelainan tingkah laku (kebiasaan jelek,acuh tak acuh, apatis, kurang inisiatif)

Sebab-sebab/kemungkinan latar belakang anak lambat belajar.
a. Kecerdasan kurang
b. Kehidupan sosial dan ekonomi orang tua kurang.
c. Perhatian orang tua kurang sibuk
d. Keluarga yang terlalu besar dan banyak.
e. Pendidikan orang tua rendah.
f. Hubungan sosial dengan teman kurang.

Kemungkinan masalah
a. Lemah dalam pelajaran karena kurang kemampuan belajar dan kecerdasan.
b. Lemah dalam pelajaran karena kurang kecakapan pelajarannya.
c. Lemah dalam pelajaran karena bantuan belajardari orang tua
d. Lemah dalam pelajaran karena kurang pengaruh kesulitan mental sosial ekonomi orang tua
e. Lemah dalam pelajaran karena kurang pengaruh hubungan sosial dengan teman
f. Lemah dalam pelajaran karena kurang sikap orang tua yang memanjakan
g. Lemah dalam pelajaran karena kurang biasa di bantu
h. Lemah dalam pelajaran karena gangguan penyakit.

Kemungkinan bimbingan
a. Penyuluh terhadap anak
b. Pertemuan dengan guru
c. Pertemuan dengan orang tua
d. Pemberian informasi
e. Sosiodrawa
f. Penempatan anak dalam kegiatan ekstra kurikuler

B. Teknik konseling dalam mengatasi Kesulitan belajar siswa.

1. Pendekatan Trait and factor
a. Kondisi Pribadi tidak sehat (Bermasalah)
Ada beberapa model pengkategorian masalah yang dapat kita ikuti. Pengaktegorian masalah yang selam ini banyak dikenal adalah pengkateforian sosiologis dan psikologis. Pengkategorian secara sosiologis ini, misalnya membagi macam-macam masalah atas masalah pendidikan. Keluarga, ekonomi, pergaulan dan sebagainya. Pengkategorian lain yang lebih banyak diikuti adalah pengkategorian secara psikologis. Pengkategorian secara psikologis yang terkenal dalam konseling trait and factor ada dua, yaitu modelnya Bordin dan modelnya Pepnsky. Pengkategorian masalah menurut Bordin adalah sebagai berikut :

a) Dependence (bergantung) contoh: “dalam setiap ulangan saya belum yakin kebenaran jawaban saya kalau tidak melihat jawaban teman saya”.

b) Lack of information (kurang informasi), contoh: “saya tidak berani datang kerumahnya Pak Ahmad, jangan-jangan beliau nanti marah” (padahal sebenarnya Pak Ahmad orang yang baik dan ramah). Seorang siswa memutuskan untuk keluar sekolah karena tidak ada biaya, padahal sebenarnya ada kesempatan untuk mendapatkan beasiswa. Seorang siswa tidak mau masuk jurusan bimbingan dan konseling, padahal sebenarnya dia memiliki bakat dalam jurusan tersebut.

c) Self-conflict (konflik diri), contohnya: “hari ini orang tua saya menyuruh saya pergi ke Surabaya, tetapi hari ini juga saya ada janji dengan pacar saya, apa yang harus saya perbuat?”

d) Choice anxiety (cemas memilih), contoh: “Tahun ini saya mengikuti UMPTN dengan memilih dua jurusan sesuai dengan ketentuannya, yaitu pilihan pertama dan pilihan kedua. Selain itu saya juga mendaftar di salah satu fakultas swasta (PTS) yang mutunya tidak kalah dengan PTN. Orang tua saya menyerahkan kepada saya sepenuhnya untuk memilih yang mana, tetapi sampai sekaran ini saya belum dapat menentukan pilihan saya”.

e) No Problem (bukan masalah-masalah di atas), dalam arti individu mengalami masalah yang tidak dapat digolongkan pada masalah-masalah di atas, atau masalah lain-lain.

Pengkategorian Pepinsky (dalam Andi Mapiare, 2004) yang dalam beberapa hal mirip dengan yang dikemukakan oleh Bordin, yaitu sebagai berikut : (1) Lack of assurance (kurang percaya diri sendiri), contoh: “teman-teman maupun sebagian bapak ibu guru telah mendorong saya untuk mengikuti lomba karya ilmiah remaja, tetapi saya kurang yakin apakah saya mampu”, (2) Lack of information (kurang informasi), (3) Lack of skill (kurang keterampilan), contoh: Tidak mengetahui cara membaca efiosien, tidak mengetahui cara menemukan ide pokok pada suati kalimat ataupun pragraf, tidak dapat mengatur jadwal harian dan sebagainya, (4) Dependence (bergantung), (5) Self-conflict (konflik diri), dan (6) Choice anxiety (cemas memilih).

Masalah sebagaimana yang dijabarkan di atas, dapat timbul karena faktor internal maupun eksternal. Termasuk faktor internal bagi timbulnya masalah, antara lain: (1) individu banyak dipengaruhi kehidupan emosi, sehingga kemampuan berpikir rasionalnya terhambat, (2) potensi-potensinya kurag berkebang atau tidak mendapat kemampuan berpikir rasionalnya terhambat, (3) kurang memiliki kontrol diri, (4) memiliki kekurangan tertntu, baik cacat fisik maupun mental, dan yang merupakan faktor keturunan.

Adapun yang tergolong faktor eksternal, antara lain : (1) Perlakuan orang tua; sikap orang tua yang terlalu menekan, menolak maupun melindungi merupakan sumber timbulnya masalah, (2) Kondisi lingkungan dan masyarakatnya (meliputi lingkungan fisik dan sosial), (3) Pengalaman atau sejarah pribadi yang menimbulkan trauma, dan (4) ada tidaknya kesempatan mengembangkan diri, baik yang menyangkut situasi maupun pendukung (orangnya).

b. Kondisi Pribadi yang ideal (sehat)
Pribadi yang ideal menurut ancangan trait and factor dapat dirumuskan sebagai berikut: Pribadi yang ideal adalah apabila pribadi tersebut mampu menggunakan kemampuan berpikir rasionalnya memecahkan masalah-masalah kehidupan secara bijaksana. Selain itu pribadi yang bersangkutan dapat memahami kekuatan dan kelemahannya dirinya serta mampu dan mau mengembanghkan segala potensinya secara penuh (khususnya potensi baiknya), memiliki motivasi untuk meningkatkan diri atau menyempurnakan diri, memiliki kontrol diri untuk menyeleksi pengaruh yang baik dan buruk, dan dapat menyesuaikan diri di tengah-tengah masyarakatnya, sehingga dia dapat digolongkan sebagai warga negara yang baik.

c. Kondisi-kondisi bagi timbulnya perubahan
Konseling dapat dikatakan sebagai salah satu cara dalam pendidikan untuk membantu individu yang bermasalah menemukan cara pemecahan masalah untuk membantu individu yang bermasalah menemukan cara pemecahan masalah agar individu mampu mengembangkan potensi-potensinya (konseling memiliki fungsi remediatif dan develomental). Dengan konseling tersebut, kita (konselor) bermaksud untuk membawa individu dapat menjadi pribadi-pribadi yang ideal. Untuk itu, sudah barang tentu diperlukan kondisi-kondisi tertentu menunjang bagi tercapainya tujuan yang dimaksud.

Berbicara komponen dalam konseling di atas merupakan kondisi bagi timbulnya perubahan  (ke arah yang ideal), terkait langsung dengan komponen-komponen tersebut adalah konselor, klien situasi hubungan dan tujuan.

Keempat komponen dalam konseling di atas merupakan kondisi bagi timbulnya perubahan, bukan berkenaan dengan ada tidaknya, tetapi juga pada bagaimananya. Konselor yang bagaimana yang dapat menunjang timbulnya perubahan; situasi yang bagaimana yang merupakan prasyarat bagi timbulnya perubahan. Konselor yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a) Sikap konselor, Sikap ini antara lain : (1) dapat menempatkan diri sebagai seorang guru, (2) menerima tanggung jawab atas keselamatan klien (walaupun penangggung jawab utamanya adalah klien yang bersangkutan), (3) bersedia mengarahkan klien ke arah yang lebih baik, (4) tidak netral sepenuhnya terhadap nilai (value), Yakin terhadap asumsi-asumsi konseling yang efektif.

b) Keterampilan. Yaitu : (1) Memiliki pengalaman, keahlian dalam teori perkembangan manusia dan pemecahan masalah, (2) Dapat memanfaatkan teknik-teknik pemecahan individu baik teknik testing maupun teknik konseling, (3) Dapat melaksanakan proses konseling secara fleksibel, (4) Dapat menerapkan strategi pengubahan tingkah laku beserta teknik-tekniknya, (5) Menjalankan keempat peranan utamanya secara terpadu, yaitu : 1) Mengajar atau menolong individu belajar memahami dan menerima dirinya sendiri yang meliputi kemampuan, bakat dan minatnya, 2) Mengajar dan menolong individu untuk mengenali motivasi-motivasinya sendiri dan teknik-teknik atau cara kehidupannya sendiri, 3) Memperhitungkan dua kelompok aspek di atas yaitu pada poin 1 dan 2 dari segi konsekwensi dan implementasinya, 4) Mengajar individu mengganti atau megubah tingkah lakunya dengan yang lebih memadai guna mencapai tujuan pribadinya.

Dalam menunjang adanya perubahan dalam konseling trait and factor, selain mensyaratkan konselor, juga dibutuhkan peranan klien. Adapun peranan klien selama proses konseling adalah : (1) Sedapat mungkin datang secara sukarela, tetapi jika klien tersebut dikirim berdasarkan pengalaman dan tidak terlalu berbeda efektifitasnya, (2) Bersedia belajar memahami dirinya sendiri dan mengarahkan diri dengan mengubah responnya yang kurang tepat, (3) menggunakan kemampuan berfikirnya untuk lebih memperbaiki dirinya sehingga dapat mencapai kehidupan yang rasional dan memuaskan, dan (4) bekerja sama dengan konselor dn bersedia mengikuti arahan konselor dalam hal proses pengubahan.

Sedangkan situasi hubungan dalam konseling trait and factor ditandai dengan ciri-ciri situasi hubungan sebagai berikut : (1) Konseling merupakan suatu thinking relationship yang lebih mementingkan peranan berpikir rasional, tetapi tidak meninggalkan sama sekali aspek emosional seseorang, (2) Konseling berlangsung dalam siatuasi hubungan yang bersifat pribadi, bersahabat, akrab dan empatik, (3) Konseling yang berlangsung dapat bersifat remediatif maupun developmental, (4) Setiap pihak (konselor-klien) melakukan peranannya secara proporsional.

 Sedangkan tujuan dari konseling trait and factor, dapat diringkas sebagai berikut : (a) Self-clarification (kejelasan diri), (b) Self-understanding (pemahaman diri), (c) Self-acceptance (penerimaan diri), (d) Self- direction (pengarahan diri), dan (5) Self-actualization (perwujudan diri).

C. Tahap-tahap Konseling
Konseling trait and factor memiliki enam tahap dalam prosesnya, yaitu : analisis, sinetesis, diagnosis, prognosis, konseling (treatment), dan follow-up. Keenam tahap tersebut merupakan suatu urutan yang jelas dan logis, dan menggambarkan langkah-langkah yang lazim digunakan dalam dunis ilmu pengetahuan atau kedokteran. Namun begitu dalam prakteknya urut-urutan di atas tidak perlu digunakan secara kaku. Tahap-tahap itu direncanakan secara fleksibel, bahkan terjadi tumpang tindih (overlapping). Hal itu terjadi, sebab dalam konseling tersebut dimungkinkan untuk kembali pada tahap yang lebih awal (setelah mencapai tahap-tahap akhir) apabila dianggap tahap yang terdahulu memang belum sempurna, masih terdapat kekurangan-kekurangan.

Selama mengikuti tahap-tahap konseling, klien bertangungjawab penuh untuk belajar dalam proses memahami dirinya, sedang konselor berperan sebagai orang kedua atau mengambil peran pembantu sebagai layaknya seorang guru yang bertugas agar proses belajar dapat berlangsung sebaik-baiknya.

Dari antara enam tahap yang dikemukakan konseling trait and factor, tahap pertama sampai keempat dapat dilakukan tanpa bertatap muka dengan klien. Konselor dapat saja melakukannya, misalnya dengan mempelajari catatan komulatif siswa. Setelah selesai baru diadakan pertemuan dengan siswa dalam situasi konseling dengan sasaran utamanya menemukan pemecahan masalah. Dengan demikian untuk melaksanakan empat tahapan awal dalam konseling ala Williamson, yang dikenal sebagai tahap-tahap persiapan bagi wawancara konseling, pada suatu sesi tatap muka dengan klien. Kedua, dilaksanakan di luar atau sebelum bertatap muka dengan klien dalam suatu sesi konseling. Ketiga, cara kombinasi, yaitu dilakukan sebelum bertemu dengan klien sejauh bisa, kemudian kekurangan-kekurangannya dilengkapi pada saat wawancara konseling berlangsung.

a) Analisis
 Analisis merupakan langkah mengumpulkan informasi tentang diri klien beserta latar belakang. Informasi atau data yang dikumpulkan mencakup segala aspek kepribadian klien, seperti kemampuan, minat motif, kesehatan fisik, dan karakteristik lainnya yang dapat mempermudah atau mempersulit bagi pemerolehan peyesuaian diri yang memuaskan  baik dalam kehidupannya di sekolah maupun dalam dunia kereja serta penyesuaian diri pada umumnya.

Tujuan dari tahap analisis adalah untuk memperoleh pemahaman tentang diri siswa atau klien dalam hubunganya dengan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh penyesuaian diri baik untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Bagi tujuan itulah data tentang diri klien dikumpulkan, dengan syarat data yang terkumpul harus sahih (valid), relevan dan komprehensip.

Untuk membuat analisis tentang diri klien ini, konselor dapat menggunakan alat-alat tertentu. Enam alat yang dikemukakan Williamson yang dikemukakan oleh Petterson (1980) adalah: (1) catatan komulatif, (2) wawancara, (3) format distribusi waktu, (4) otobiografi, (5) catatan anekdot, dan (6) tes psikologis.

Selain menyebutkan enam alat di atas, diterangkan pula oleh Patterson  mengenai studi kasus sebagai suatu alat, yaitu metode untuk memadukan semua data mencakup sejarah keluarga, sejarah kesehatan, sejarah pendidikan, sejarah pekerjaan atau jabatan, minat rekreasi dan sosial serta kebiasaan kebiasaan. Ketika data obyektif tentang diri siswa dikumpulkan, konselor memperhatikan pikiran-pikiran (ide-ide) dan sikap klien. Bagaimana klien mendekati masalahya tidak hanya menunjukkan gaya hidupnya, tetapi menunjukkan reaksinya terhadap analisis dan diagnosis. Sikap klien terhadap masalahnya terhadap cara dan alat untuk mencapai penyesuaian yang maksimal merupakan satu dari antara yang terpenting dari seluruh data analisis. Penting data ini adalah bersangkutpaut dengan kerjasama klien. Jika klien menunjukkan sikap kooperatif, berarti dia dapat bekerjasama dengan konselor mengenai keyakinan dan pemahaman klien tentang konseling yang bila dijumpai kesalahpahaman, konselor segera mengoreksinya.

 Untuk lebih memperjelas tentang data macam apa yang perlu dikumpulkan, dapat dibuatkan klasifikasi-klasifikasi: (a) Data vertikal (menyangkut diri klien ), yang dapat dibagi lebih lanjut atas: data fisik, kesehatan, ciri-ciri fisik, penampakan/penampilan fisik dan sebagainya.(b) data psikis: bakat, minat, sikap, cita-cita, kebiasaan, dan sebagainya.

b) Sintesis
Sintesis adalah usaha merangkum, menggolong-golongkan dan menghubung-hubungkan data yang telah terkumpul pada tahap analisis, yang disusun sedemikian sehingga dapat menunjukkan keseluruhan gambaran tentang diri klien. Rumusan dari klien dalam sintesis ini bersifat ringkas dan padat. Dalam sintesis juga harus tercermin tentang kekurangan atau kelebihan dan kelemahan klien, kemampuan penyesuaian dirinya malasuianya (maladjusments).

Ada tiga cara yang dapat dilakukan dalam merngkum data pada tahap sintesis tersebut. Cara pertama, dibuat oleh konselor; kedua, dilakukan klien; ketiga adalah cara kolaborasi atau kerjasama klien-konselor. Dalam prakte, disarankan untuk menggunakan cara kolaburasi. Cara ini didahului dengan  konselor meminta kepada klien untuk membuat rangkuman, setelah itu, konselor menyempurnakan rangkuman yang telah dibuat klien. Atau kalau konselor ingin lebih mempermuadah klienya, dapat pula didahului dengan memberikan kerangka bagi membuat rangkuman oleh klien.

c) Diagnosis
Diagnosis merupakan tahap menginterpretasikan data daalm ebntuk (dari sudut) problema yang ditunjukkan. Rumusan diagnosis dilakukan melalui proses pengambilan atau penarikan simpulan yang logis.

(1). Identifikasi masalah. Pada langkah ini, ditunjukkan atau ditentukan masalah apa yang dialami klien. Penentuan macam masalahnya didasarkan pada pengkategorian masalah baik ala Bordin atau Papinsky sebagaimana yang dijelaskan di atas. Identifikasi masalah ini merupakan langkah penentuan hakekat masalah yang sebenar-benarnya, bukan gejala-gejalanya. Masalah yang diidentifikasikan mungkin satu atau lebih dari satu saja. Jika masalh lebih dari satiu, dan berdasarkan pertimbangan tertentu, misalnya waktu, tidak akan tuntas bila dibahas semua, konselor dapat membuat kesepakatan tentang pembatasan topik (gunakan teknik structuring dan topik limit).

(2).Menemukan sebab-sebab (etiologi). Langkah ini merupakan langkah mencari sumber bagi timbulnya suatu masalah yang mencakup pencarian hubungan antara masa lalu, sekarang, dan masa depan yang mungkin menuntun kita untuk memahami sebab-sebab dari gejala (symtoms). Jika terdapat hanya sedikit atau tidak ada hasil penelitian ilmiah atau pengetahuan berdasarkan pemikiran rasional dalam hubungannya dengan sebab-sebab gejala, konselor juga dapat menggunakan intuisinya untuk menduga sebab-sebab itu yang kemudian di cek dengan logika maupun reaksi klien. Dalam mencari sebab ini dapat dihubungkan (menggunakan) data yang terungkap pada tahap analisis, tetapi, konselor harus dapat membedakan antara sebab dengan sekedar hubungan sederhana.

(3). Prognosis (tahap ke-4 dalam konseling). Menurut Williamson, prognosis merupakan bagian dari diagnosis. Prognosis ini bersangkutan dengan upaya memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan data yang ada sekarang. Misalnya : bila seorang klien berdasarkan data sekarang dia malas, maka kemungkinan nilainya akan rendah; jika intelegensinya rendah, kemungkinan nanti tidak dapat diterima dalam UMPTN.

Pada tahap atau langkah prognosis ini, klien diajak untuk menyadari kemungkinan-kemungkinan apa akan yang terjadi jika keadaan seperti sekarang ini tetap berlanjut.

d) Konseling (treatment)
Dalam konseling, konselor membantu klien untuk menemukan sumber-sumber lembaga dan masyarakat guna membantu klien mencapai penyesuaian yang optimal sejauh dia bisa. Bantuan dalam konseling ini mencakup lima jenis bantuan, yaitu:

a. Hubungan konseling yang mengacu pada belajar yang terbimbing kearah pemahaman diri.

b. Konseling jenis re-edukasi atau belajar kembali yang individu butuhkan sebagai alat untuk mencapai penyesuaian hidup dan tujuan personalnya.

c. Konseling dalam bentuk bantuan yang dipersonalisasikan untuk klien dalam memahami dan untuk terampil mengaplikasikan prinsip dan teknik dalam kehidupan sehari-hari.

d. Konseling yang mencakup bimbingan dan teknik yang mempunyai pengaruh terapiutik atau kuratif.

e. Konseling bentuk reedukasi bagi diperolehnya katarsis secara terapiutik.

Dengan mendasarkan tipe-tipe bantuan itu, sesuai dengan masalah klien, pada tahap konseling ini dikembangkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Melalui pengujian untung rugi atau kelebihan dan krangan setiap alternatif yang terbaik atau paling mungkin dilaksanakan.

e) Follow-up
Tindak lanjut merujuk pada segala kegiatan membantu siswa setelah mereka memperoleh layanan konseling, tetapi kemudian menemui masalah-masalah baru atau munculnya kembali masa yang lampau. Tindak lanjut ini juga mencakup penentuan keefektifan konseling yang telah dilaksanakan. 

0 Response to "Cara Memberi Bimbingan Dan Konseling Untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close