Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik

PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK 
Pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika dan diketahui sebagai pendekatan yang telah berhasil di Nedherlands.

Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia.  Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari.  Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994).  Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”.  Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar, 2000).  Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi. 
 
Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal.  Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematik.  Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian.  Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang,  karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama     (Van den Heuvel-Panhuizen, 2000) . Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, emperistik, strukturalistik, dan realistik.  Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks).  Dalam pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin.  Kedua jenis matematisasi tidak digunakan. 

Pendekatan emperistik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.  Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.  Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran.  Melalui aktivitas matematisasi horisontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.   

Beberapa pakar merumuskan karaktreristik RME adalah sebagai berikut: 
1)    Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”  
“Dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. Matematisasi (De Lange,1987) dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.  Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual.  Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit.  Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata (applied mathematization).  Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematization of everyday experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto, 2000). 

2)    Menggunakan Model-model (Matematisasi)  
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models).  Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.  Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.  Pertama adalah model  situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.  Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan  berubah menjadi model-of masalah tersebut.  Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis.  Pada akhirnya, akan menjadi model  matematika formal.  

3)    Menggunakan Produksi dan Konstruksi  
Streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar.  Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.   

4)    Menggunakan Interaktif
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME.  Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.            

5)    Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)  
Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial.  Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah.  Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmetika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.        

E.     Prinsip Pembelajaran Matematika Realistik 
Gravemeijer (1994) menyatakan tiga prinsip dalam mendesain pembelajaran matematika realistic, yaitu: (a) guided reinvention and progressive mathematizing, (b) didactical phenomenology dan (c) self developed models. Ketiga prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penemuan kembali secara terbimbing dan proses matematisasi secara progresif (guided reinvention and progressive mathematizing).
Berdasarkan prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat pertama kali matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu, prinsip reinventioni dapat dikembangkan berdasarkan prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut, maka perlu dirumuskan masalah kontekstual yang dapat menjadikan keberagaman prosedur penyelesaian yang mengindikasikan rute belajar melalui proses matematisasi progresif (Gravemeijer, 1994). 

2.      Fenomena yang bersifat mendidik (didactical phenomenology)
Berdasarkan prinsip ini penentuan situasi yang mengandung  penerapan topik matematika didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu: (i) untuk mengungkapkan jenis aplikasi yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, dan (ii) mempertimbangkan pantas tidaknya konteks itu, sebagai hal yang berpengaruh dalam proses matematisasi progresif. Secara histories, matematika dikembangkan dari penyelesaian masalah praktis, sehingga memungkinkan ditemukan masalah yang melahirkan proses perkembangan dalam aplikasi terkini. Selanjutnya dapat dibayangkan bahwa matematika formal terbentuk melalui proses generalisasi dan formalisasi prosedur-prosedur penyelesaian masalah situasi khusus dan konsep tentang berbagai situasi. Karena itu, tujuan investigasi fenomena ini adalah menemukan situasi-situasi masalah dengan prosedur penyelesaian yang dapat dijadikan dasar untuk matematisasi vertikal (Gravemeijer, 1994). 
3.      Mengembangkan sendiri model-model (self developed models )
Prinsip ini menyatakan bahwa model yang dikembangkan sendiri oleh siswa berperan menjembatani perbedaan antara pengetahuan matematika informal dan matematika formal. Pertama kali model ini merupakan model yang sudah dikenal oleh siswa. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut menjadi sesuatu yang berdiri sendiri, tidak tergantung pada situasi asalnya. Hal ini sangat mungkin digunakan sebagai model untuk penalaran matematika. Oleh karena itu, siswa belajar dari tahap situasi nyata, tahap pemodelan (referensi), generalisasi dan tahap formal matematika (Gravemeijer, 1994). Sedangkan Soedjadi (2001) menggambarkan bahwa urutan pembelajaran tersebut adalah: masalah kontekstual         model dari masalah kontekstual        model ke arah formal           pengetahuan formal
PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK

0 Response to "Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel

close